Rabu, 25 Februari 2009

Sepenggal Kisah Kehidupan

Menjadi seorang wanita bekerja adalah sebuah pilihan hidup sekaligus juga ibadah. Dan itu sudah aku lakoni sejak menjadi seorang sarjana sekitar 13 tahun yang lalu. Akan menjadi semakin indah ketika perempuan mampu membagi 24 jam waktunya untuk mengurus suami, keluarga dan anak-anak. Disinilah kepiawaian seorang perempuan diuji dalam mengelola waktu seefiktif dan seefisien mungkin dipertaruhkan.

Pada kondisi seperti itu, jargon “Yang penting adalah kualitas waktu bersama keluarga, bukan kuantitasnya,’ menjadi sebuah pembenaran.

Beberapa kali aku sempat pindah kerja dengan berbagai alasan yang berbeda. Karena tidak cocok dengan management yang berlaku, atau harus ikut suami pindah bekerja ke kota lain, hingga perusahaan yang mempekerjakan terkena dampak krisis moneter dan terpaksa melakukan PHK secara massal. Padahal di tempat yang terakhir ini, aku sudah mengabdi hampir selama 10 tahun. Dan tanpa memandang lamanya bekerja, aku yang pada saat itu sudah pada level manager menjadi salah satu karyawan yang terkena pemutusan kerja tersebut. Untuk melamar dan pindah ke perusahaan yang lain sangat sulit, mengingat usia sudah tak muda lagi disamping kondisi ekonomi secara keseluruhan saat itu juga memang sedang menurun.

Kaget, kecewa, bahkan nyaris putus asa sempat menyelimutiku selama beberapa lama. Rasa percaya diri perlahan terkikis bahkan hampir hilang. Beruntung aku seorang perempuan yang bukan seorang penopang keluarga. Masih ada suami yang menjadi penanggung jawab sepenuhnya terhadap perekonomian keluarga. Pengertian dan perhatian suami perlahan mampu membangkitkan semangat hidup kembali. “Berhenti bekerja bukanlah akhir dari segala-galanya.” Begitu katanya selalu. Toh sebagai istri, aku masih punya suami, anak, dan keluarga yang lebih membutuhkan waktuku.

Bisa jadi, berhenti menjadi seorang wanita karir juga sebuah teguran Tuhan terhadapku untuk lebih fokus mengurus dua malaikat kecil yang masih butuh perhatian seorang ibunya secara lebih intesns lagi. Mengantarkan mereka kesekolah, menemani makan siang, atau sekedar membacakan cerita menjelang tidur, nyaris tidak pernah lagi kulakukan sejak beberapa tahun belakangan ini. Semuanya aku percayakan kepada dua orang pengasuh yang mendampingi anak-anak selama ibunya berada di luar luar.

Parahnya lagi, aku termasuk anggota keluarga yang paling banyak absen ketika keluarga besar mengadakan acara. Ada saja kegiatan kantor yang membuatku terpaksa mangkir bertemu sanak saudara. Entah sedang sibuk mengikuti seminar, ada training di luar kota, raker bersama kantor pusat atau pekerjaan yang mengharuskan aku lembur hingga larut malam. Sampai akhirnya keluargaku terkenal sebagai keluarga yang tidak bisa diharapkan hadir di berbagai acara keluarga seperti arisan ataupun syukuran. Harus diakui, pada saat itu aku memang mengalami kesulitan membagi waktu untuk bekerja, keluarga serta mengurus anak yang masih balita.

Dan semenjak berhenti bekerja, semuanya ingin ku tebus kembali. Menyiapkan pakaian suami serta kebutuhan sarapan anak-anak menjadi rutinitas harian. Wajah anak-anak terlihat begitu sumringah ketika tahu ibunya akan mengantarkan mereka hingga ke gerbang sekolah. Tidak lagi hanya sampai pintu pagar rumah seperti dahulu. Siang harinya, aku setia dan sabar menunggu kedatangan mereka dari sekolah dengan menyiapkan makan siang dan siap mendengar celotehan mereka yang seolah berlomba ingin menceritakan apa saja yang sudah mereka alami seharian ini. Sungguh, sebuah suasana yang kembali bisa ku nikmati dan syukuri karena sudah lama hilang dari kehidupanku.

Sampai suatu ketika, aku mendapat kabar bahwa penyakit paru-paru ayah kambuh lagi. Kali ini menurut diagnosa dokter yangbiasa merawat kesehatan ayah, lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Sudah hampir 3 tahun terakhir ini paru-paru sebelah kiri ayah memang sedikit bermasalah dan tidak bisa mengembang akibat terlalu banyak merokok di usi mudanya. Menurut dokter, penyakit ayah kali ini sudah sangat kritis dan kembali harus kembali diopname di rumah sakit.

Masih lekang dalam ingatanku, ketika beberapa kali ayah sempat pula dirawat di rumah sakit, sebagai anaknya, hanya sesekali aku menunggui beliau karena begitu sempitnya waktu yang ku miliki kala itu. Ayah sangat maklum dengan kondidi anak kesayangannya. Tapi untuk sakit ayah kali ini, rasanya bodoh jika aku masih juga mengulangi kebodohan yang sama.

Aku minta ijin suami dan bicara kepada anak-anak untuk menjaga ayah siang dan malam di rumah sakit. Beruntung keluargaku sangat mengerti dan memahami kondisiku. Mereka sangat ikhlas bahkan hampir setiap pulang bekerja suami menyempatkan dirinya atau bersamana dua buah hatiku datang menjenguk ayah di rumah sakit. Sekalian membawakan makanan serta baju ganti untukku.

Entah karena ingin menebus dosa masa lalu atau karena khawatir melihat kondisi ayah yang semakin kritis diusianya yang 79 tahun, saat itu aku seolah tidak ingin jauh dari ayah. Saat hari pertama masuk ke ruang perawatan di rumah sakit, ayah masih bisa diajak berkomunikasi meskipun sudah lemah. Aku masih bisa mohon maaf atas semua kesalahan terhadap beliau. Dan sebagai orang yang selalu mensupportku sejak kecil, beliau memaklumi dan memaafkannya.

Aku sangat lega mendengar semua ucapan ayah. Dan dihadapan ayah serta ibu, dengan berurai air mata, aku berjanji padanya, “Tidak akan pernah sedetik pun aku akan meninggalkan ayah dan ibu.” Ayah tersenyum lemah seraya mengusap rambutku dengan hangatnya. Beliau bahkan setuju, sepulang dari rumah sakit akan tinggal dirumahku bersama ibu agar aku dapat menjaga dan merawat mereka. Dan selanjutnya, adikku satu-satunya yang masih lajang yang akan merawat rumah yang mereka tinggali selama ini. Apalagi selama ini, adik memang masih tinggal bersama kedua orang tuaku karena belum menemukan jodohnya.

Dari hari kehari, kondisi ayah tidak juga semakin membaik. Dan dokter hanya berpesan agar kami anggota keluarganya sedapat mungkin berusaha memenuhi permintaan ayah. Entahlah, mungkin ini adalah sebuah isyarat bagi kami agar tidak terlalu berharap dengan kondisi ayah. Karena melihat tubuh ayah yang semakin kurus dan lemah saja, sudah membuat saya menangis. Bersama adik, kami menunggu, merawat serta berdoa untuk ayah siang dan malam. Sementara ibu lebih banyak menjaga pada siang hari mengingat usia beliau pun yang juga sudah sepuh.

Pada hari kedelapan ketika aku baru saja melepas mukena sehabis shalat subuh, mendadak ayah susah bernafas. Dadanya terlihat tersengal sengal. Ayah terlihat sangat susah untuk bernafas. Sementara matanya tertutup rapat. Aku tercekat melihatnya. Dada ayah turun naik perlahan namun terlihat susah. Ingin rasanya aku membatu ayah bernafas. Aku hanya sendiri di ruangan saat itu. Adik yang biasanya bersama aku pada malam hari sebelumnya minta ijin tidur di rumah karena merasa kurang enak badan karena kecapaian akibat terus menerus tidur di rumah sakit. Kutekan bel memanggil suster. Suami, ibu, adik langsung aku telpon dan meminta mereka untuk segera datang ke rumah sakit. Perasaanku mengatakan lain.

Beberapa suster berdatangan ke ruangan, lalu kemudian kudengar salah satu dari mereka hendak menelpon ke dokter karena kondisi ayah yang semakin kritis. Satu persatu anggota keluarga berdatangan. Semua langsung berkumpul mengelilingi ayah sambil terus berdoa. Dan aku terus membisikan lafadz illahi ketelinga ayah sambil menahan tangis dan sesekali menyusut air mata. Aku berusaha menuntun ayah sebisa mungkin. Dengan gerakan yang sangat lemah aku melihat mulut ayah bergerak mengikuti setiap lafadz yang aku ucapkan perlahan. Aku tahu, ini adalah saat terakhir saya mendampingi ayah.

Sesaat kemudian, dokter bersama suster beberapa kali mencoba memancing nafas ayah yang sudah semakin melemah dengan menggunakan alat pacu. Kami semakin khusuk berdoa untuk ayah. Sampai akhirnya detak jantung ayah terlihat perlahan mendatar di monitor. Sontak aku menjerit mendekap tubuh ayah yang masih hangat. Ibu terlihat lebih pasrah meskipun beliau adalah orang yang paling kehilangan dengan kepergian ayah. Dan adik, tak henti-hentinya menangis Innalillahi wainna ilaihi rojiuun..

Selamat jalan ayah. Doa kami, orang-orang yang mengasihimu senantiasa menyertaimu.

Sedih sudah pasti. Merasa kehilangan pun sudah tentu. Tapi paling tidak, aku tidak terlalu dibebani lagi rasa bersalah dengan kesalahan dimasa lalu. Diakhir hidup ayah, aku masih diberi kesempatan untuk merawat dan mendampinginya hingga menghadap sang khalik. Mendampingi ayah-ayah dihari-hari terakhirnya sungguh sebuah pengalaman yang palingberharga bagiku. Semoga akupun bisa melakukan hal yang sama terhadap ibu. Dan semua itu tidak mungkin bisa kua lakukan jika aku masih terikat sebagai karyawan disebuah perusahaan. Terima kasih Tuhan. Inilah pilihan hidup terbaik yang Engkau berikan padaku. (end)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar