Rabu, 25 Februari 2009

TUHAN PILIHKAN JALAN YANG TERBAIK

Menyalahkan takdir yang telah menimpa kerap kita lakukan sebagai manusia. Seolah tidak pernah sedetikpun Tuhan berpihak kepada kita dengan menimpakan duka nestapa yang terkadang terasa begitu berat, sakit dan pahit untuk dijalani. Rasa sakit yang mendera, air mata yang menggenang menjadi saksi betapa kita berat menjalani sebuah rencana besar Tuhan, Kerikil tajam, jalan berkelok serta berliku kerap tidak bisa kita pahami, apa sebenarnya rencana Tuhan kedepan? Ketika terjatuh dalam sebuah lembah duka, kita seolah merasa sebagai seorang manusia paling teraniyaya di seluruh jagad bumi ini.


Mengapa kebahagiaan seolah sulit untuk diraih? Tidak adilkan Tuhan terhadapku? Apakah ini cobaan atau justru musibah yang Tuhan timpakan? Apa sebenarnya dosa hambamu ini ya Tuhan? Kapan Semua ini akan berakhir? Bertubi-tubi pertanyaan kita lontarkan sekaligus mencari jawabannya lewat bersujud menghadapnya di tengah malam dengan deraian air mata. Namun tatkala duka nestapa berakhir dan berbagai kemudahan bisa didapat dengan hasil yang sangat maksimal, kita terkadang lupa dengan kebaikan yang telah Tuhan berikan……

Terlahir sebagai anak bungsu dengan 4 saudara kandung membuat saya menjadi seorang anak yang keras dalam berpendirian. Apa yang saya inginkan, harus selalu saya peroleh, entah itu dengan cara merajuk ataupun dengan berusaha sekeras mungkin. Maklum, sebagai anak bungsu, kedua orang tua dan sanak saudara begitu memanjakan saya. Sehingga dengan begitu mudahnya mereka penuhi keinginan-keinginan saya.


Apalagi diantara keempat saudara yang lain, saya termasuk anak yang berotak encer, alias pintar. Terbukti dari sejak sekolah di Taman Kanak-kanak, SMP, hingga SMA, nilai rata-rata raport saya selalu di atas angka 8. Dan saya pun selalu menempati rangking 3 besar di kelas. Tidak heran ketika kemudian saya menjadi anak yang begitu membanggakan orang tua dan saudara lainnya.


Bahkan, di akhir bangku SMA, ketika semua teman-teman tengah berkutat mempersiapkan diri dengan setumpuk bahan menghadapi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), saya sudah bisa berleha-leha tanpa pusing memikirkan soal-soal yang bakalan keluar nanti – sekaligus sibuk juga mencari bocoran kunci jawabannya.. Karena saya termasuk salah satu siswa yang diterima lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) di universitas negeri di kota kelahiranku.


Bertahun-tahun lamanya saya merasakan berbagai kemudahan berkat kemurahan yang Tuhan berikan. Kebaikan Tuhan terasa berlipat tatkala jurusan yang saya masuki adalah jurusan yang bisa menyalurkan bakat menulis yang sudah tumbuh sejak kecil. Saya memang seorang pemimpi sejak kecil. Dan semua mimpi serta angan-angan itu saya tuangkan dalam sebuah diary kecil yang selalu diisi setiap malam menjelang tidur. Lembar demi lembar saya tuangkan semua keluh kesah di sepanjang hari itu, termasuk juga curhat tentang seluruh isi hati.


Terkadang diary saya terbaca –atau bahkan sengaja dibaca- oleh salah satu kakak perempuanku. Masih lekang dalam ingatan saya menjadi bulan-bulanan ejekan seluruh keluarga saat berkumpul di meja makan untuk makan malam. Saat itu saya masih duduk dibangku kelas 2 SMP dan sedang naksir seorang teman sekelas. Mereka menyebut nama cowok idamnanku saat itu yang membuat seluruh mukaku merah. Maklumlah, cinta monyet. Kalau tidak ada mama yang melerai olokan itu, saya pasti sudah menangis saking malunya.


Karena itulah jurusan Ilmu Jurnalistik, semakin mengasah kemampuan menulis sekaligus juga menyalurkan bakatku. Tidak sampai lima tahun saya sudah bisa menyelesaikan studi saya dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) mencapai 3,2. Lagi-lagi, ini adalah kebanggaan keluarga besar karena diantar 4 saudara kandungku, hanya si bungsu yang dapat menyelesaikan pendidikan S1 nya dengan tepat waktu dan nilai yang cukup membanggakan. “Selesai sudah tugas orang tua membekali kamu untuk menjalani hidup ke depan dengan menjadi seorang sarjana,” begitu kata almarhum Bapa di hari wisudaku. “Sekarang tinggal kamu sendiri yang harus menjalani hari-hari kedepan tanpa tergantung lagi pada kami,” lanjutnya yang membuatku terhenyak. Seberapa berat masa depan mesti kujalani? Sampai saat itu, semua kata-kata Bapak belum dapat tercerna dengan baik.


Hingga akhirnya 3 bulan kemudian saya diterima bekerja menjadi seorang wartawan di sebuah dwi mingguan terkenal ibu kota. Barulah saya mulai mengerti apa arti dibalik kata-kata Bapak menjelang pelepasann wisudawan di kampus hari itu.

Betapa tidak. Dari seorang anak yang terbiasa selama bertahun-tahun terus diawasi dan dipenuhi segala keinginannya, semenjak memasuki dunia keja, seolah saya dilepas di hutan belantara kota Jakarta. Saya harus bangun lebih pagi karena untuk menuju tempat bekerja, minimal saya harus turun berganti kendaraan umum dari mikrolet, metromini, hingg bis kota sebanyak 4 kali. Begitu melelahkan.


Di awal bekerja saya sempat keteteran –terkejut lebih tepatnya- dengan perubahan ritme hidup serta culture ibu kota yang serba cepat, keras dan sangat individual. Sedikit demi sedikit saya mampu mengikuti perubahan yang terjadi hingga akhirnya bisa menikmati rutinitas dunia bekerja di ibu kota Jakarta. Selama dua tahun lebih saya belajar menjadi seorang wartawan bertemu dengan berbagai nara sumber yang terkadang menjadi idola saya sedari dulu.

Hingga suatu ketika , saya terpaksa harus mengundurkan diri karena pada saat ditugaskan meliput sebuah peristiwa besar di luar pulau Jawa, pada saat itu pula mama di Bandung menderita stoke dan harus dirawat di rumah sakit. Sebagai anak saya lebih memilih mendampingi hari-hari beliau di rumah sakit, meskipun untuk itu saya terpaksa melepaskan pekerjaan yang begitu dicita-citakan semenjak kecil.


Menikmati pekerjaan dengan menyenangkan semakin membentuk saya menjadi seorang pribadi yang mandiri bahkan cenderung egois. Sejalan dengan itu, usia pun semakin merambat merubah seorang anak bungsu yang cengeng menjadi seorang gadis yang sudah dewasa yang penuh percaya diri. Beberapa kali saya sempat merajut hubungan, tapi semuanya tidak pernah berakhir di pelaminan. Kandas dengan berbagai sebab danalasan. Sempat terlintas dibenak untuk menjadi seorang single parent dengan mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Karena laki-laki buat saya menjadi tidak penting lagi. Rencana tinggalah rencana, karena akhirnya saya lebih terfokus untuk berdekatan dengan mama ketika beliau menderita sakit.


Sakit serta perihnya kehidupan mulai saya rasakan. Ketidak adilan Tuhan mulai saya pertanyakan. Tuhan, mengapa disaat saya mulai mengembangkan karier yang begitu diidamkan, pada saat itu pula saya harus kehilangan pekerjaan karena saya memilih mendampingi merawat orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan saya? Mengapa saya tidak bisa menjalani keduanya secara bersamaan? Baru kali ini saya merasa Tuhan tidak berpihak pada hambanya.


Ketika akhirnya mama bisa sembuh dan bisa beraktivitas seperti sedia kala, pada saat itulah saya mulai sibuk mencari-cari pekerjaan baru. Hampir setiap hari saya membeli Koran lokal dan ibu kota mencari lowongan pekerjaan yang cocok. Selama hampir 6 bulan lamanya saya jobless. Uang tabungan sudah terkuras habis untuk mengirim lamaran ke berbagai perusahaan. Hingga akhirnya saya diterima menjadi seorang wartawan majalan bulanan, masih di ibu kota. Rutinitas yang sempat saya tinggalakan selama beberapa bulan lamanya kembali saya jalani. Bangun pagi, berebut kendaraan umum, terjebak macet dan pulang larut malam kembali menjadi keseharian.


Ketika keluar dari tempat pertama bekerja,saya sempat menghujat Tuhan. Tapi ketika satu tahun saya jalani ditempat yang baru, saya baru mengerti rencana Tuhan yang sebenarnya. Karena ditempat itulah saya bertemu, berkenalan dengan seorang lelaki yang akhirnya mempersunting saya hingga saat ini. Kadang saya merenung, mungkin dulu kalau seandainya saya ngotot untuk pergi bertugas ke luar pulau Jawa selama beberapa bulan dan meninggalkan mama yang tengah terbaring sakit, boleh jadi saya tidak akan pernah bisa bertemu bahkan berjodoh dengan suami saya ini. Siapa tahu hingga saat ini saya masih single saking asyik dan terhanyut dunia kerja? Itulah rencana Tuhan terindah yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya.(end)

Sepenggal Kisah Kehidupan

Menjadi seorang wanita bekerja adalah sebuah pilihan hidup sekaligus juga ibadah. Dan itu sudah aku lakoni sejak menjadi seorang sarjana sekitar 13 tahun yang lalu. Akan menjadi semakin indah ketika perempuan mampu membagi 24 jam waktunya untuk mengurus suami, keluarga dan anak-anak. Disinilah kepiawaian seorang perempuan diuji dalam mengelola waktu seefiktif dan seefisien mungkin dipertaruhkan.

Pada kondisi seperti itu, jargon “Yang penting adalah kualitas waktu bersama keluarga, bukan kuantitasnya,’ menjadi sebuah pembenaran.

Beberapa kali aku sempat pindah kerja dengan berbagai alasan yang berbeda. Karena tidak cocok dengan management yang berlaku, atau harus ikut suami pindah bekerja ke kota lain, hingga perusahaan yang mempekerjakan terkena dampak krisis moneter dan terpaksa melakukan PHK secara massal. Padahal di tempat yang terakhir ini, aku sudah mengabdi hampir selama 10 tahun. Dan tanpa memandang lamanya bekerja, aku yang pada saat itu sudah pada level manager menjadi salah satu karyawan yang terkena pemutusan kerja tersebut. Untuk melamar dan pindah ke perusahaan yang lain sangat sulit, mengingat usia sudah tak muda lagi disamping kondisi ekonomi secara keseluruhan saat itu juga memang sedang menurun.

Kaget, kecewa, bahkan nyaris putus asa sempat menyelimutiku selama beberapa lama. Rasa percaya diri perlahan terkikis bahkan hampir hilang. Beruntung aku seorang perempuan yang bukan seorang penopang keluarga. Masih ada suami yang menjadi penanggung jawab sepenuhnya terhadap perekonomian keluarga. Pengertian dan perhatian suami perlahan mampu membangkitkan semangat hidup kembali. “Berhenti bekerja bukanlah akhir dari segala-galanya.” Begitu katanya selalu. Toh sebagai istri, aku masih punya suami, anak, dan keluarga yang lebih membutuhkan waktuku.

Bisa jadi, berhenti menjadi seorang wanita karir juga sebuah teguran Tuhan terhadapku untuk lebih fokus mengurus dua malaikat kecil yang masih butuh perhatian seorang ibunya secara lebih intesns lagi. Mengantarkan mereka kesekolah, menemani makan siang, atau sekedar membacakan cerita menjelang tidur, nyaris tidak pernah lagi kulakukan sejak beberapa tahun belakangan ini. Semuanya aku percayakan kepada dua orang pengasuh yang mendampingi anak-anak selama ibunya berada di luar luar.

Parahnya lagi, aku termasuk anggota keluarga yang paling banyak absen ketika keluarga besar mengadakan acara. Ada saja kegiatan kantor yang membuatku terpaksa mangkir bertemu sanak saudara. Entah sedang sibuk mengikuti seminar, ada training di luar kota, raker bersama kantor pusat atau pekerjaan yang mengharuskan aku lembur hingga larut malam. Sampai akhirnya keluargaku terkenal sebagai keluarga yang tidak bisa diharapkan hadir di berbagai acara keluarga seperti arisan ataupun syukuran. Harus diakui, pada saat itu aku memang mengalami kesulitan membagi waktu untuk bekerja, keluarga serta mengurus anak yang masih balita.

Dan semenjak berhenti bekerja, semuanya ingin ku tebus kembali. Menyiapkan pakaian suami serta kebutuhan sarapan anak-anak menjadi rutinitas harian. Wajah anak-anak terlihat begitu sumringah ketika tahu ibunya akan mengantarkan mereka hingga ke gerbang sekolah. Tidak lagi hanya sampai pintu pagar rumah seperti dahulu. Siang harinya, aku setia dan sabar menunggu kedatangan mereka dari sekolah dengan menyiapkan makan siang dan siap mendengar celotehan mereka yang seolah berlomba ingin menceritakan apa saja yang sudah mereka alami seharian ini. Sungguh, sebuah suasana yang kembali bisa ku nikmati dan syukuri karena sudah lama hilang dari kehidupanku.

Sampai suatu ketika, aku mendapat kabar bahwa penyakit paru-paru ayah kambuh lagi. Kali ini menurut diagnosa dokter yangbiasa merawat kesehatan ayah, lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Sudah hampir 3 tahun terakhir ini paru-paru sebelah kiri ayah memang sedikit bermasalah dan tidak bisa mengembang akibat terlalu banyak merokok di usi mudanya. Menurut dokter, penyakit ayah kali ini sudah sangat kritis dan kembali harus kembali diopname di rumah sakit.

Masih lekang dalam ingatanku, ketika beberapa kali ayah sempat pula dirawat di rumah sakit, sebagai anaknya, hanya sesekali aku menunggui beliau karena begitu sempitnya waktu yang ku miliki kala itu. Ayah sangat maklum dengan kondidi anak kesayangannya. Tapi untuk sakit ayah kali ini, rasanya bodoh jika aku masih juga mengulangi kebodohan yang sama.

Aku minta ijin suami dan bicara kepada anak-anak untuk menjaga ayah siang dan malam di rumah sakit. Beruntung keluargaku sangat mengerti dan memahami kondisiku. Mereka sangat ikhlas bahkan hampir setiap pulang bekerja suami menyempatkan dirinya atau bersamana dua buah hatiku datang menjenguk ayah di rumah sakit. Sekalian membawakan makanan serta baju ganti untukku.

Entah karena ingin menebus dosa masa lalu atau karena khawatir melihat kondisi ayah yang semakin kritis diusianya yang 79 tahun, saat itu aku seolah tidak ingin jauh dari ayah. Saat hari pertama masuk ke ruang perawatan di rumah sakit, ayah masih bisa diajak berkomunikasi meskipun sudah lemah. Aku masih bisa mohon maaf atas semua kesalahan terhadap beliau. Dan sebagai orang yang selalu mensupportku sejak kecil, beliau memaklumi dan memaafkannya.

Aku sangat lega mendengar semua ucapan ayah. Dan dihadapan ayah serta ibu, dengan berurai air mata, aku berjanji padanya, “Tidak akan pernah sedetik pun aku akan meninggalkan ayah dan ibu.” Ayah tersenyum lemah seraya mengusap rambutku dengan hangatnya. Beliau bahkan setuju, sepulang dari rumah sakit akan tinggal dirumahku bersama ibu agar aku dapat menjaga dan merawat mereka. Dan selanjutnya, adikku satu-satunya yang masih lajang yang akan merawat rumah yang mereka tinggali selama ini. Apalagi selama ini, adik memang masih tinggal bersama kedua orang tuaku karena belum menemukan jodohnya.

Dari hari kehari, kondisi ayah tidak juga semakin membaik. Dan dokter hanya berpesan agar kami anggota keluarganya sedapat mungkin berusaha memenuhi permintaan ayah. Entahlah, mungkin ini adalah sebuah isyarat bagi kami agar tidak terlalu berharap dengan kondisi ayah. Karena melihat tubuh ayah yang semakin kurus dan lemah saja, sudah membuat saya menangis. Bersama adik, kami menunggu, merawat serta berdoa untuk ayah siang dan malam. Sementara ibu lebih banyak menjaga pada siang hari mengingat usia beliau pun yang juga sudah sepuh.

Pada hari kedelapan ketika aku baru saja melepas mukena sehabis shalat subuh, mendadak ayah susah bernafas. Dadanya terlihat tersengal sengal. Ayah terlihat sangat susah untuk bernafas. Sementara matanya tertutup rapat. Aku tercekat melihatnya. Dada ayah turun naik perlahan namun terlihat susah. Ingin rasanya aku membatu ayah bernafas. Aku hanya sendiri di ruangan saat itu. Adik yang biasanya bersama aku pada malam hari sebelumnya minta ijin tidur di rumah karena merasa kurang enak badan karena kecapaian akibat terus menerus tidur di rumah sakit. Kutekan bel memanggil suster. Suami, ibu, adik langsung aku telpon dan meminta mereka untuk segera datang ke rumah sakit. Perasaanku mengatakan lain.

Beberapa suster berdatangan ke ruangan, lalu kemudian kudengar salah satu dari mereka hendak menelpon ke dokter karena kondisi ayah yang semakin kritis. Satu persatu anggota keluarga berdatangan. Semua langsung berkumpul mengelilingi ayah sambil terus berdoa. Dan aku terus membisikan lafadz illahi ketelinga ayah sambil menahan tangis dan sesekali menyusut air mata. Aku berusaha menuntun ayah sebisa mungkin. Dengan gerakan yang sangat lemah aku melihat mulut ayah bergerak mengikuti setiap lafadz yang aku ucapkan perlahan. Aku tahu, ini adalah saat terakhir saya mendampingi ayah.

Sesaat kemudian, dokter bersama suster beberapa kali mencoba memancing nafas ayah yang sudah semakin melemah dengan menggunakan alat pacu. Kami semakin khusuk berdoa untuk ayah. Sampai akhirnya detak jantung ayah terlihat perlahan mendatar di monitor. Sontak aku menjerit mendekap tubuh ayah yang masih hangat. Ibu terlihat lebih pasrah meskipun beliau adalah orang yang paling kehilangan dengan kepergian ayah. Dan adik, tak henti-hentinya menangis Innalillahi wainna ilaihi rojiuun..

Selamat jalan ayah. Doa kami, orang-orang yang mengasihimu senantiasa menyertaimu.

Sedih sudah pasti. Merasa kehilangan pun sudah tentu. Tapi paling tidak, aku tidak terlalu dibebani lagi rasa bersalah dengan kesalahan dimasa lalu. Diakhir hidup ayah, aku masih diberi kesempatan untuk merawat dan mendampinginya hingga menghadap sang khalik. Mendampingi ayah-ayah dihari-hari terakhirnya sungguh sebuah pengalaman yang palingberharga bagiku. Semoga akupun bisa melakukan hal yang sama terhadap ibu. Dan semua itu tidak mungkin bisa kua lakukan jika aku masih terikat sebagai karyawan disebuah perusahaan. Terima kasih Tuhan. Inilah pilihan hidup terbaik yang Engkau berikan padaku. (end)