Selasa, 03 Maret 2009

SEPENGGAL ASA

Sambil bergegas mengunci pintu mobil, sekilas aku melirik arloji di tangan kananku, jam 08.40, itu berarti aku datang agak lebih siang dari hari-hari biasanya. Ini hari ke empat aku datang kesiangan lagi ke kantor, padahal aku termasuk karyawan yang lumayan disiplin dengan jam kerja. Kuambil kartu absen Amano ku, gawat. Tinta absenku kembali berwarna merah. Yah, kalau sudah begini, paling tinggal menunggu panggilan dari HRD dalam beberapa hari ke depan. Nasib….

Deringan telpon sudah terdengar berkali-kali di meja reception meski pagi baru menjelang. Nani, receptionis kantorku terlihat begitu sibuk menerima dan menyambungkan telpon hingga ia tidak sempat menyapa bahkan melihat aku lewat di depan mejanya. Aku masuk keruangan dalam menuju mejaku yang terletak tepat di tengah ruangan. Beberapa meja teman-temanku sudah terisi pemiliknya, sebagian lagi kosong. Biasanya mereka sedang sarapan di pantry.

“Pagi Mbak. Tumben, datangnya kesiangan,” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecut menjawab sapaan Dani, office boy di kantor yang kebetulan sedang menaruh gelas berisi air putih di atas mejaku. Seandainya aku bisa tidur lebih awal, aku pasti tidak akan kesiangan begini, keluhku dalam hati. Beberapa hari belakangan ini aku memang selalu tidur larut malam, sulit rasanya untuk memejamkan mata.

Setelah meletakkan tas di atas meja, aku segera menekan power on CPU komputer. Sambil menunggunya running, aku mengambil kunci dan membuka laci meja untuk mengambil perangkat ATK ku. Kalau tidak kusimpan di laci sebelum pulang kantor, salah satu alat kantor ku pasti ada yang menghilang karena ada yg lupa mengembalikannya setelah meminjam dari mejaku. Padahal aku termasuk orang yang perfeksionis dalam urusan pekerjaan. Aku selalu ingat semua barang yang menjadi inventaris mejaku. Karena itu, sekecil apapun yang berubah atau yang hilang dari mejaku, aku pasti akan tahu. Karena itu, sebelum pulang kantor, setiap sore aku pasti menyimpan semua ‘barang berhargaku’ di laci supaya pagi-paginya tidak parno mencarinya kemana-mana.

Ah, komputernya sudah menyala. Aku segera masukkan password dan kembali mengeluarkan bahan-bahan pekerjaan yang akan kukerjakan pada hari ini. Beberapa teman sudah mulai beraktivitas. Pagi-pagi begini beberapa komputer di sekelilingku mulai ‘bersuara’ dengan berbagai aliran musik dan volume yang berbeda. Semua tergantung dari selera pemiliknya dan aku tidak bisa berkutik kalau sudah begitu. Seandainya ada peraturan perusahaan yang melarang karyawannya membunyikan volume komputernya terlalu keras. Lagi-lagi aku mengeluh…Pagi-pagi begini tidak usah dibikin bete dengan suasana kantor yang sudah riuh. Sebaiknya aku memulai hari dengan membuka e-mail, siapa tahu ada surat yang masuk dan belum sempat kubaca. Tapi ternyata inbox ku kosong.

“Hai. Pagi Mutia.” Suara itu tiba-tiba terdengar tepat dari depan komputerku. Sejenak jantungku rasanya berhenti berdetak. Suara bariton itu yang membuat malam-malamku menjadi begitu panjang karena sulit untuk memejamkan mata. Sorotan matanya yang tajam, suara lembutnya yang khas, hampir setiap malam hadir di benakku. Cerita sinetron ditelevisipun menjadi tidak menarik lagi untuk diikuti karena aku asyik merenda cerita sendiri di benakku.

“Hei! Pagi-pagi jangan melamum dong!,” Aku tersentak kaget, waduh, jangan sampai Marketing Manager ini tahu apa isi lamunanku. Bisa gawat! “Siapa yg lagi melamun?” aku berkilah. Victor tersenyum mendengar jawabanku. Ya Tuhan, senyuman itu….. begitu renyahnya! Aku semakin merana dibuatnya jika harus menatap sorotan matanya lama. “Tumben beberapa hari ini kamu kesiangan terus Tia. Sakit?” Dua kali sudah pertanyaan yang sama kudengar di pagi ini. Aku menggelengkan kepala,”Gak, aku Cuma lagi banyak pikiran aja kali Yud,” jawabku sambil membaca tumpukan kerfas fax yang baru datang dari pagi tanpa berani menatap tatapan matanya yang teduh.

“Oh, begitu. Makanya istirahat dong. Jangan kerja melulu,” katanya. Aku Cuma meringis, sambil mengangguk. Ya Tuhan! Seandainya Victor tahu apa yang membuatku beberapa hari ini bangun kesiangan terus. Itu karena malamnya aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan kamu, Victor!

“Hei! Kamu dicariin pak Djati tuh dari tadi pagi,” suara Victor kembali membuyarkan lamunanku. “Oh ya? Ngapain HRD manggil aku ya?” Aku balik bertanya menutupi kegugupanku, dan Victor menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu bidangnya.”Gak tau,” katanya.”Mendingan kamu sekarang ke ruangan dia deh. Siapa tahu urgent,” katanya. Dan Victor pun kembali bekerja dibalik mejanya yang terletak tepat disebelahku.

Aku segera bangkit dari kursiku dan berjalan menuju ruangan Pak Djati,bagian HRD. Ada apa ya sampai aku dipanggil HRD pagi-pagi begini? Janga-jangan karena beberapa hari ini aku selalu datang terlambat ke kantor dan Pak Djati sudah mengetahuinya? “Masuk Mutia,” kata Pak Djati begitu melihat aku berada tepat di depan pintu kacanya. “Pagi pak,” sapaku sambil menutup pintu kaca ruangan HRD dan duduk kursi tepat di depan meja Pak Djati. “Bapak mencari saya?”. Pak Djati mengangguk. “Iya,” jawabnya. Rupanya pak Djati tadi pagi mencariku dan Victor yang meja kerjanya hanya terpisah sekat dengan mejaku menjadi tahu.

“Begini Mutia,” Pak Djati mulai membuka pembicaraan pagi itu. Awalnya sebagai HRD Pak Djati memuji kinerja kerjaku yang cukup bagus. Aku juga terbilang cukup disiplin dengan pekerjaanku, dan seringkali aku terlambat pulang jika pekerjaan sedang menumpuk. Kondisi perusahaan yang mulai berkembang memang menuntutku sebagai marketing communication untuk bekerja ekstra dengan terus berhubungan dan berkomunikasi dengan pegawai lainnya baik di kantor pusat maupun di beberapa kantor cabang lainnya.

Beliau juga menceritakan tentang perkembangan pesat perusahaan dengan melakukan ekspansi dan membuka beberapa cabangnya di tahun ini.
Hampir setengah jam lamanya Pak Djati bercerita tentang situasi perusahaan. Sebetulnya isi pembicaraan pagi itu sudah pula kuketahui sesuai dengan tugasku sebagai karyawan bagian komunikasi di kantor ini. Tapi aku tidak menyela sedikitpun pembicaraan HRD ku ini. Sampai suatu saat Pak Djati berkata, “Dengan hampir 5 tahun bekerja diperusahaan ini, rasanya bekal kamu sudah cukup Mutia…” katanya. Sontak aku kaget mendengar perkataannya. Aku tidak mengerti arah pembicaraan Pak Djati. “Maksud Bapak….?,”tanyaku menyela pembicaraan Pak Djati.

“Begini maksudnya Mutia,” Pak Djati meneruskan perbincangan. “Saya sebagai HRD di perusahaan ini memiliki track record setiap karyawan termasuk kinerja kamu juga. Dan perusahaan percaya, kamu bisa memberikan kontribusi lebih banyak dengan memajukan group perusahaan ini dengan mengangkat kamu menjadi wakil kepala kantor cabang di Kalimantan,” Pak Djati tersenyum seraya mengulurkan tangannya hendak memberi ucapan selamat padaku.

Sejenak aku terdiam, menatap HRD ku yang masih tersenyum, “Ya Mutia. Kamu dipromosikan menjadi salah seorang wakil kepala kantor cabang yang baru,” katanya mengangguk sambil menyebutkan tepatnya kota yang bakal menjadi tempat baruku, Pontianak. Aku kembali terdiam. Aku pun menerima uluran tangan Pak Djati, “ Sukses ya Mutia,” katanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Sementara perasaanku berkecamuk antara senang dengan tugas baruku, tetapi juga sedih mengingat kota yang disebutkan Pak Djati cukup jauh dari Jakarta, bahkan berada di luar pulau Jawa.

Merantau memang bukan hal yang asing bagiku. Toh dari sejak duduk di bangku perguruan tingggipun sudah tidak tinggal lagi bersama keluargaku di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di selatan Jawa Barat. Dan hampir 5 tahun ini pun, aku tinggal di Jakarta dengan indekost di sebuah kamar yang tidak terlalu jauh dari kantor tempatku bekerja. Tanpa sadar satu persatu wajah mama, papa dan Raditya adikku begiliran muncul di benakku. “Semakin jauh saja teteh merantau.” Suara papa seolah terngiang di telingaku.

Sementara mama, seperti biasa akan melepasku dengan rentetan kata-kata yang nyaris sudah kuhafal di luar kepala karena selalu diucapkan ketika aku akan kembali ke ibu kota. “Jaga diri baik-baik Teh, jangan lupa shalat, berdoa minta lindungan Allah. Jangan lupa makan dan jaga kesehatan.” Begitu biasa mama melepas kepergianku.
Tiba-tiba wajah ketiganya hilang dari benakku, dan digantikan dengan kemunculan wajah yang selalu menghiasi malam-malamku. Wajah Victor dengan tatapan matanya yang selalu mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang …. Sosoknya yang telah membuat hari-hariku bersemangat untuk bekerja tanpa berkeluh kesah meski terkadang aku merasa pekerjaanku tiada habisnya. Dan, jika aku pindah ke kantor cabang baru, itu artinya aku akan meninggalkan kantorku yang sekarang dan berpisah dengan seluruh teman-temanku sekarang termasuk…..Victor? Akupun terhenyak, lemas….

“Kenapa Mutia?” sebagai seorang HRD Pak Djati tentu bisa membaca pikiranku. “Kamu tidak senang dengan promosi ini?” tanyanya. “Bukan, Bukan begitu Pak,” jawabku buru-buru agak terbata-bata. “Saya senang, saya berterima kasih dengan kepercayaan yang diberikan perusahaan kepada saya. Hanya saja saya agak terkejut mendengarnya hari ini,” lanjutku cepat. “Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat dalam seminggu ini ya. Kamu boleh cuti dulu ke Tasikmalaya untuk pamitan ke orang tua barang beberapa hari ini,” Pak Djati bijaknya. “Kamu mesti berangkat secepatnya karena setting perusahaan disana sudah ok semua.” Aku mengangguk sambil menelan ludah. Membayangkan waktu yang hanya 7 hari berpamitan kepada keluargaku, teman-temanku, dan berpisah dari Victor….

“Terima kasih pak atas kepercayaan yang diberikan. Mudah-mudahan pilihan bapak tepat dan saya bisa memberikan hasil yang terbaik buat perusahaan di tempat baru nanti. Tapi kalau boleh saya tahu, siapa kepala cabang disana? Karena setahu saya posisinya masih kosong juga kan Pak? Mungkin saya bisa berkomunikasi terlebih dahulu dari Jakarta,” kataku. “Oh, itu.” Kata Pak Djati. “Dia dari kantor Jakarta juga, Dan mungkin baru tiba di sana pada hari yang sama dengan kamu Mutia,”katanya. “Nantilah, kalian ketemu sendiri di kantor baru,” Pak Djati seolah menutup pembicaraan pagi itu dan enggan menyebutkan nama calon bosku nanti. Dan akupun segera keluar dari ruangan HRD dengan perasaan tidak karuan.

oooooooooooooooooo

Pagi ini aku tiba di kantor tepat waktu. Bahkan beberapa teman belum tampak batang hidungnya. Dan ini adalah dua hari menjelang keberangkatanku ke pos baruku yang baru di luar pulau Jawa. Besok pesawatku take off pukul 2 siang. Berarti ini aku hanya punya waktu hari ini untuk berpamitan dengan seluruh teman di kantor ini. Memang sih, aku bisa bertemu mereka karena menurut Pak Djati, meeting koordinasi seluruh cabang biasa diadakan di kantor pusat. Itu artinya, aku bisa wara-wiri ke Jakarta beberapa bulan sekali dan bertemu kembali dengan sahabat-sahabat lamaku.
Sejak dipanggil Pak Djati, aku memang belum sempat berpamitan dengan teman-temanku. Karena pemanggilan itu menjelang week end sehingga aku belum sempat bercerita panjang lebar dengan beberapa teman. Selanjutnya aku juga mengambil cuti beberapa hari menghabiskan waktu dengan pulang ke Tasikmalaya untuk bertemu keluarga sekaligus berpamitan kepada orang-orang yang menyayangiku.

Sudah kuduga sebelumnya. Papa dan Mama agak terkejut mendengar kota penugasannku. “Gak bisa milih tugas yang deket aja, Teh?” pertanyaan Ibu sempat membuatku tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Ma. Kalau perusahaan sendiri, Mutia pasti memilih tugas di Tasik saja, biar bisa deket terus sama Mama dan Papa.” Kupeluk Ibuku denagn erat. Andai Ibu tahu, Mutia juga malas pergi ke Pontianak bu….. Dengan berbagai penjelasanku, akhirnya mereka ikhlas melepas kepergianku ke Pontianak.
Baru kemarin aku kembali dari Tasik, dan hari ini aku sudah berniat untuk membereskan seluruh berkas di mejaku dan berpamitan kepada seluruh penghuni kantor pusat.

Kuraih frame berisi foto aku bersama beberapa teman ketika sedang outbond di Cibodas beberapa bulan lalu. Kutatap satu persatu wajah temanku sebelum memasukkan frame itu ke dalam boks yang sudah disiapkan Dani untuk kupakai packing semua data dan perlengkapanku Kapan ya, aku bisa having fun bersama Luna, Mey, Bella, Shinta lagi? I will miss you all guys! Satu persatu kucopy file yang kiranya nanti bakal kuperlukan ke flash disk yang sudah kusiapkan. Beberapa teman menghampiri dan menyapaku.

Mereka memberiku ucapan selamat. Sebagian dari mereka sudah tahu perihal tugas baru yang harus kujalani mulai besok. Mereka semua mensupportku habis.
Mey dan Bella bahkan membantuku packing semua barang-barangku ke dalam boks karton sambil sesekali mengomentarinya dengan becanda. Mereka bahkan berjanji untuk menghabiskan sisa malam ini dengan menginap di kamar indekostku. That’s what friends are for! Tapi, bukannya aku tidak menghargai bantuan teman-temanku, bagiku tetap saja ada yang kurang. Karena sejak aku datang, aku belum melihat Victor datang ke kantor.

Bertanya sama Mey atau Bella? Gengsi! Itu sama saja artinya aku merelakan diri untuk menjadi bahan olok-olokan antar mereka. Karena sedikitnya, mereka sudah bisa menangkap perasaanku terhadap Victor beberapa minggu belakangan ini.
Kamana ya Victor hari ini? Kok tumben, dia gak masuk kantor, atau langsung ketemu client di luar? Tapi ini sudah hampir tengah hari. Masa sih, ketemu client sampai lama begini? Kulirik meja yang berada tepat disebelah kiriku. Kenapa kosong dan bersih? Yang ada hanya seperangkat komputernya saja. Itupun dalam keadaan mati. Jangan-jangan….. Ah dasar norak, kenapa aku yang jadi gusar begini.

“Sudah dua hari ini Victor gak masuk kerja Mutia,” sepertinya Mey bisa membaca pikiranku. Aku mengangguk sekaligus kaget. “Oh. Sakit ya Mey?” tanyaku menyelidik. Kedua temanku tidak menjawab. Mereka hanya mengeryitkan dahinya mengisyaratkan tidak tahu. Tanpa sadar, akupun menghela nafas cukup panjang. Jadi, kapan aku bias pamitan sama Victor ya?

Seharian itu aku berusaha menyembunyikan perasaanku di depan semua teman-teman kantor. Aku memang sedih berpisah untuk waktu yang cukup lama, tapi aku lebih sedih lagi karena tidak bisa berpamitan dulu dengan Yudha. Padahal ini hari terakhir aku di kantor. Terlintas dikepalaku untuk menelpon atau sekedar mengirim short message service kepadanya. Sekedar berpamitan. Tapi aku takut dia malah memiliki persepsi lain nantinya. Aku pun membatalkannya.

Malam harinya, aku memang agak terhibur dengan kehadiran Mey dan Bella di kamar indekostku. Meskipun sejujurnya, sesekali dalam pikiranku melintas berbagai pertanyaan tentang Victor. Akhirnya kutulis sebuah pesan singkat, “Malam Victor, sorry ganggu. Aku cm mau pamitan krn hr ini adlh hr trkhirku di Jkrt. Mlai bsk aku bertugas di kntr cabang d Pontianak. Tadinya aku mau pamitan langsung, but I’m not see you today. So, sorry if I have a mistake during in our relationship , success for you and see you later. Bye! Kutekan tombol ok di handphone ku. Message sent. Begitu report yang kuterima kemudian.

Sampai larut malam aku, Mey dan Bella menghabiskan waktu malam itu dengan bercerita ngalor ngidul sambil bercanda. Berkali-kali kulihat layar handphone ku sekedar memastikan adakah pesan yang masuk tanpa kuketahui. Tidak ada pesan masuk, karena berbunyi pun tidak. Aku tidak memperdulikan lagi apakah Mey ataupun Bella bisa menangkap kegundahanku.Toh mulai besok aku tidak akan menjadi objek penderita becandaan mereka lagi. Becandaan yang selalu membuat wajahku merona merah karena
Victor terkadang mendengar juga guyonan teman-temanku.

Aku mengenal Victor sekitar 2 tahun belakangan ini, sejak pria kelahiran Jakarta ini bekerja di perusahaan tempatku bekerja dan menempati posisinya sebagai Marketing manager. Selama itu aku tidak pernah memiliki perasaan aneh terhadapnya. Tapi baru satu bulanan belakangan ini wajahnya, senyuman hangatnya, suaranya yang berwibawa, bahkan wangi parfumnya pun selalu mengganggu malam-malamku. Aku berusaha menyembunyikan semua ini, tapi tidak dengan ketiga teman dekatku. Tanpa bercerita kepada mereka, body language ku sudah bisa terbaca oleh mereka.

Malam itu, tidak seperti biasanya, kugenggam erat handphone ku tanpa meninggalkannya di atas meja yang letaknya dekat dengan spring bed ku seperti kebiasaanku setiap malam. Siapa tahu handpone ku berbunyi ketika aku sedang tertidur lelap. Dan aku bisa langsung membaca pesan yang terkirim tanpa harus menunggu sampai keesokan harinya……. Tapi hingga akhirnya pagi menjelang, SMS ku tidak pernah dibalasnya.

ooooooooo

Pagi harinya aku bangun dengan sangat malas. Begitu malasnya hingga Mey dan Bella sampai membangunkan aku untuk bersiap-siap. Rencananya aku akan pergi ke Cengkareng dengan diantar Pak Darso, sopir kantor. Namun karena aku membawa cukup banyak tas dan koper, maka Pak Darsono akan menjemputku di rumah.Pagi itu pun aku melepas Mey dan Bella untuk berangkat ke kantor.

“Take care ya Mutia. Do not ever forget to still keep in touch with us,” kata Mey pelan sambil mencium pipi kiri dan kananku. “Iya, jangan lupa kasih kabar begitu pesawat lu landing ya Mutia. Biar kita tahu,” Bella menimpali. Aku mengangguk pasti. “Satu lagi, jangan lupa kasih kabar kalau kamu sudah menemukan pangeranmu di sana,” Mey berkata sambil mengedipkan matanya ke arah Bella. Aku tersenyum kecut mendengar ejeken mereka. Ah, pengeranku, aku belum sempat berpamitan dengannya…..

Selepas keduanya berangkat, aku mempersiapkan diri sambil menunggu Pak Darso. Aku sarapan dengan nasi goreng sengaja dibuatkan ibu kost untukku pagi itu. Beliau sudah tahu tentang kepindahanku. Dan kau sudah berpamitan kepadanya kemarin. Pukul sepuluh padi Pak Darso datang menjemputku. Semua tas dan koper langsung dimasukkannya ke dalam bagasi mobil. Ibu kost yang melepas kepergianku.
Sebelumya kutatap seluruh isi kamar yang akan kutempati hampir selama 5 tahun belakangan ini. Terlalu banyak kenangan manis kutinggalkan disini. Tanpa terasa air mataku menggenang di pelupuk mata. “Jaga diri baik-baik Mutia,” ibu kost melepas seraya memelukku erat. Aku mengangguk hingga tangisan kecilku pecah di pundaknya.

Tidak seperti biasanya, perjalanan menuju Cengkareng menjadi sangat panjang bagiku. Berat rasanya memikikarkan kepergianku kali ini,seberat aku meninggalkan Victor tanpa berita…. Kupejamkan mata, membayangkan beberapa hari kebelakang yang indah hanya dengan mendengar guyonan Victor ataupun sekedar melihatnya datang.
“Mbak Mutia, kita sudah sampai,” suara Pak Darso membangunkanku. Rupanya mobil sudah memasuki terminal E dimana pesawatku akan membawaku terbang. Segera kuraih tas dan membereskan pakaian serta rambut lewat kaca spion mobil. Yup, aku sudah siap. Begitu semua barangku sudah diturunkan, Pak Darso pun langsung meluncur menuju kantor kembali. Tinggal aku dengan kereta dorong berisi tas dan koper untuk masuk dalam terminal dan segera melakukan check in.

Koper dan tas sudah ku masukkan ke dalam bagasi. Masih ada sekitar 50 menit lagi pesawatku take off ketika kuputuskan untuk segera masuk dan menunggu di dalam kabin pesawat. Toh tidak ada yang perlu kupamiti. Aku mampir sebentar di sebuah café yang berada di kawasan bandara. Kupesan secangkir coffe latte serta sepotong brownies almond.

Lumayan lah, bisa sedikit menghilangkan penatku. Apalagi sedari semalam rasanya aku tidak makan banyak menjelang keberangkatanku kali ini. Sempat kulirik hanphone pocket ketika hemdak membayar kopi di kasir. Siapa tahu hp ku berbunyi, begitu harapku. Tapi sia-sia. Sampai kopi dan brownies kuhabiskan, pengharanku tidak pernah terkabulkan.

Suara panggilan kepada seluruh passenger pesawat yang akan membawaku berangkat sudah terdengar. Bergegas kuraih tas dan beranjak pergi menuju pesawat. Pupus sudah semua asa yang kupendam beberapa bulan ini dengan sia-sia. “Tapi Victor juga tidak pernah tahu isi hati kamu, Mutia!” aku berbicara dengan diriku sendiri. “Jadi jangan salahkan dia juga kalau tidak pernah ngeh dengan perasaan kamu.” Aku mengangguk malu sendiri. Bagai punguk merindukan bulan. Masih untung Victor tidak tahu semua perasaanku kepadanya. Kalau sampai dia tahu dan mengaku tidak pernah punya perasaan yang sama dengan harapanku ………..??

Seketika itu juga aku merasa sangat beruntung dengan diamnya suara hanphone ku. Langkahku terasa menjadi ringan melewati ruang tunggu penunoang. Aku terus berjalan. Beberapa meter lagi aku memasuki lidah pesawat. Sudahlah. Lupakan semua aca yang pernah ada. Siapa tahu di tempat kerja baruku nanti aku menemukan seseorang yang bis amebgisi hari-hariku sama cerianya seperti di Jakarta.
Tiba-tiba, “Selamat siang Mutia….”

Aku terhenyak. Dadaku seolah berhenti berdetak. Langkahku tiba-tiba terhanti. Suara itu… suara itu sudah sangat familiar dengan telingaku. Refleks kepalaku mencari sumber suara yang berada tepat dibelakangnku. Langkahku tiba-tiba terhenti. Jantungku berdegup kencang. Mulut seakan kelu untuk sekedar menjawab sapaannya.

Orang berdiri tepat dibelakangku adalah orang yang sudah sangat kekenal. Dan dialah yang selalu mengisi hari-harku menjadi lebih indah dari hari sebelumnya.
“Ka…kamu mau kemana Vic?” akhirnya aku bisa bertanya setelah beberapa saat menenangkan diri. Kuperhatikan Victor dari atas kepala hingga ujung sepatunya. Sepertinya Victor akan melakukan perjalanan jauh dengan beberapa koper serta tas yang dijinjingnya. Ia tersenyum mendengar pertanyaanku.”Coba tebak, aku mau kemana?” Tanya Victor tersenyum nakal. Aku menggelen sambil mengangkat kedua bahku. Nggak tahu. “Aku mau ke Pontianak juga, Mutia. Sama seperti kamu,” jawabnya enteng seraya mengampit lengan kananku untuk menepi barang sesaat.
Kepalaku mendadak terasa pening. Badanku serasa melayang mendengar jawaban Victor tadi. Kucoba mengurai jawabannya dengan semua peristiwa yang terjadi beberap ahari belakangan ini. Dan dengan susah payah, akhirnya kutemukan sebuah benang merahnya.
“Ha?! Jadi…..Jadi … kamu yang akan menjadi kepala cabang perusahaan kita disana?”aku berhenti berjalan seraya menatap wajahnya. Victor mengagguk tersenyum, “Kenapa? Kaget ya?”

Kupukul dada bidangnya, “Kamu jahat Vic, kenapa tidak pernah bilang sama aku?” suaraku kini terdengar agak tersendat. “Maaf Mutia, aku sengaja merahasiakannya dari kamu. Karena aku ingin memberi sebuah surprise.” Rasa bersalah terbersit dari raut muka calon bosku ini. Ternyta, ketika aku ke Tasikmalaya untuk berpamitan kepada orang tua, Victor rupanya sengaja menghabiskan cuti juga untuk memuluskan kejutannya untukku. Berbeda dengan aku, Pak Djati sudah lebih dahulu memberitahu Victor perihal pemindahanka tempatnya bekerja, sekaligus juga memberi tahu bahwa aku yang akan menjadi wakilnya disana. Dan yang paling membuatku kaget, Mey, Bella dan Luna terlibat dalam persekongkolan ini….

Ya Tuhan. Pantas Victor tidak membalas SMS ku semalam, dan bodohnya, aku menuggunya hingga pagi tanpa melepaskan handhoneku barang sesaat! Tanpa bisa kutahan, air mataku menetes perlahan di pipi kiri dan kananku. Dengan sigap Victor menghaspusnya.”Maafkan aku ya Mutia. Aku sudah bikin kamu nangis begini. Tapi aku berjanji akan selalu berada didekatmu dan menjagamu mulai dari hari ini,” Victor menggenggam erat kedua tanganku. Ia pun meraih pundakku dan menuntunku untuk berjalan beriringan memasuki kabin pesawat. (end)