Minggu, 20 Desember 2009

BIDADARI KECILKU

Pernah suatu ketika,
Ketakutan begitu menyergap,
Menguras seluruh energi
Membuat semua nyali lenyap,
Nyaris tanpa bekas

Begitu sulitnya sekedar menemukan rasa percaya diri,
Ataupun kemandirian yang dulu begitu mendominasi
Karena rasa takut yang terlalu menguasai
Terkungkung oleh ketidarberdayaan ragawi

Belum sirna rasa takut itu dari ragaku
Mimpi-mimpi yang kelam menjadi bagian dari bunga tidurku,
Datang menyapa hampir di setiap malam menjelang
Begitu gelap,
Begitu membingungkan
Tanpa uraian cerita yang mampu untuk dicerna
Tangan hanya bisa meraba,
Pikiran hanya mampu menebak kemana cerita akan mengalir,
Sementara kekalutan seolah membalut hidupku

Hanya untaian doa terucap dari bibir disetiap butiran merjan
Serta berusaha berdamai dengan semua rasa takut,
Gelap,
Serta perasaan kalut
Meskipun terkadang perputaran waktu terasa begitu lambat,
Lama,
Hingga menguras rasa sabar
Hampir menyerah
Hanya kebersamaan
Yang telah menghimpun kekuatan untuk mampu bertahan

Tatkala semua penantian itu telah tiba di ujung cerita
Hanya menyisakan rasa syukur, yang mampu terucap di ujung lidah
Rasa takut, kalut dan kegelapan itu hilang seketika
Menjadi tiada berarti

Seorang bidadari kecil mampu memecah ketakutan,
Mengobati rasa sakit
Serta menghalau kekalutan
Yang selama ini telah membelenggu jiwa dan raga
Bukan dengan emosi yang menguras tenaga,
Bukan dengan adu otot yang terkadang sia-sia belaka
Namun cukup dengan senyuman serta tangisan kecilnya
Mampu membawa kepada sebuah cakrawala baru

Sebuah kehidupan yang semakin punya arti
Dengan tanggung jawab yang lebih besar

Selamat datang bidadari kecilku………..
Kehadiranmu sungguh menjadi sebuah keajaiban
Yang mampu mencerahkan dunia
Memberi kerlap kerlip hidup menjadi lebih ceria
Menjadi lebih berwarna
Dan menjadikan bundamu menjadi lebih sempurna lagi
Terima kasih bidadari kecilku,
Untaian doa senantiasa menyertai hidupmu,
Ananda Rania Damara

Rabu, 18 November 2009

KETIKA CINTA DATANG PADA WAKTU DAN TEMPAT YANG SALAH

Masih hangat dalam ingatan ketika seorang sahabat bercerita tentang kehidupan seputar rumah tangga yang telah dibinanya hampir 30 tahun yang lalu, Hari itu kami baru saja membahas berita perceraian seorang selebritis karena perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangannya.

“Setiap pasangan suami istri pasti ada pasang surut dalam kehidupannya,” begitu kira-kira awal pembicaraan kami saat itu. Dia meyakini bahwa setiap pasangan pasti akan pernah mengalami godaan dari luar baik itu perempuan ataupun laki-laki yang mencoba menghancurkan pilar rumah tangga yang telah dibina selama bertahun-tahun lamanya. Aku yang baru menjalani perkawinan seumur jagung dan sedang hangat-hangatnya menjalin hubungan dengan suami hanya menganggu-angguk. Apa iya? Ternyata, sahabatku ini pun mengakui pernah mengalaminya. Seorang wanita muda begitu gigih menggoda suaminya yang seorang entertain ganteng dan memiliki relasi yang luas.

Berbagai cara dilakukan perempuan itu dalam upaya menggoda suaminya. Dengan meminta diantar karena mobilnya mogok, minta waktu untuk curhat perihal kehidupannya, hingga minta diajari cara berpidato karena kebetulan suami sahabatku adalah juga seorang pengajar public speaking di beberapa tempat. Naluri seorang istri pula yang menggiringnya hingga mengetahui hubungan terlarang itu. “Sungguh terasa sakit ketika diumur 40 tahun, mengetahui suami punya kekasih selain kita,” katanya dengan mimik yang cukup serius. Bisa jadi, pepatah Live Begin forty, ada benarnya juga…. pikirku

Perubahan sekecil apaspun yang terjadi pada diri seorang suami pasti diketahui sang istri. Hingga akhirnya sahabatku ini mencari-cari sendiri jawaban atas kegundahan hati yang ia rasakan selama itu. Pernah suatu kali, ia mengikuti suaminya ketika hendak berjumpa perempuan itu di sebuah kafe di pusat kota. Mereka makan dan minum cukup lama tanpa tahu ada seorang istri yang menatap dari jauh dengan perasaan tercabik seraya menahan air mata. Spontan aku acungkan jempol untuk sahabatku itu. “Duh, jangan sampai aku mengalaminya seperti itu, pasti bakalan nangis bombay,” kataku tidak berani membayangkan jika itu benar-benar terjadi padaku. Kuketuk-ketuk kepalaku tiga kali dengan jari telunjuk lalu kemudian kuketuk meja sebanyak tiga kali juga. Amit-amit, jauh jauh deh dari kehidupanku….

Beberapa hari kemudian, sabahatku ini langsung bertanya kepada suaminya perihal hubungan yang sebenarnya terjadi. Ia beberkan apa saja yang sudah ia ketahui, termasuk detail perempuan yang berusaha merebut hati suaminya. “Aku bisa saja menggertak, mendamprat sekaligus meluapkan kemarahan kepada perempuan itu atas apa yang sudah dilakukannya menyakiti hatiku,” sahabatku semakin larut dalam ceritanya. Tapi buat apa? Karena buatnya, hal itu hanya akan mempermalukan dirinya sekaligus suaminya saja. “Karena si perempuan penggoda itu pasti akan menyalahkan aku, mengapa suaminya membiarkan dirinya hanyut tergoda oleh usahanya?” Dan harga diri buat sahabatku yang sudah malang melintang puluhan tahun lamanya di dunia marketing adalah segalanya.

Suaminya cukup kaget Karena sama sekali tidak menyangka sang istri sudah mengetahui sejauh itu. Tapi ia bersumpah, tidak ada yang terjadi lebih dari apa yang telah diketahui oleh sahabatku. Sepanjang malan itu, pasangan suami istri ini kemudian berbicara dari hati menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sahabatku adalah seorang sulung dari 7 bersaudara yang sudah ditinggal pergi ayah tercintanya sejak usianya masih 16 tahun. Kondisi itu pula yang menjadikan dirinya sebagai sosok pribadi yang tidak meledak-ledak, lebih bisa menahan diri karena bertahun-tahun lamanya ia harus bisa menjadi contoh pribadi positif bagi 6 orang adiknya yang kini sudah berhasil semua

“Saya bukan tipe orang yang akan merengek minta diperhatikan suami,” ujarnya seraya menyeruput kopi yang sudah dingin karena begitu asyiknya kami bercerita. Tapi ia juga bukan seorang pribadi yang gemar memojokkan pasangannya karena kesalahnnya. Mungkin Karena itu sahabatku ini dipercaya menjadi manager marketing hingga bertahun-tahun di perusahaan tempatku bekerja. Ia cukup berkata singkat pada suaminya, “Apakah yakin perempuan itu memiliki banyak kelebihan dari saya? Kalau jawabannya tidak punya kelebihan apa-apa daripada saya kecuali umurnya yang masih muda, ngapain susah payah masih melanjutkan hubungan yang sebenarnya terlarang?” Sebuah pilihan yang saklek dan tegas ia lontarkan, sekalipun mengandung banyak resiko.

Menurutnya, penyelesaian dari semua itu tergantung dari sikap masing-masing. “Kalau saya lebih memilih mempertahankan rumah tangga dengan dua anak daripada minta bercerai dan mengawali kehidupan yang baru,” begitu argumennya saat itu. Toh apapun yang terjadi, menurutnya, perempuan itu tidak akan mendapatkan apa-apa dari suaminya. Kecuali waktu yang telah ia rampas. Dan ia meyakini sepenuhnya bahwa ayah dari anak-anaknya pasti akan kembali kepelukannya lagi. Sungguh sangat percaya diri,pikirku saat itu.

“Kalau kita memutuskan untuk bercerai,” lanjutnya,”apa kita yakin bisa bertemu dengan laki-laki yang cocok dan mau menerima kita yang sudah punya buntut pula?” Aku mengangguk-angguk, benar juga. Karena itu, lebih baik baginya membungkus luka yang ada dan melupakannya. Sekalipun sebagai manusia biasa, rasa sakit, perasaan yang tercabik-cabik itu pasti ada. Namun diatas semua itu, itu menjadikan sebuah pengalaman berharga untuk kehidupan rumah tangga kedepannya.

Iya kalau kita langsung ketemu dengan laki-laki yang bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan kita, kalau tidak? Masa iya kita mesti berkali-kali bercerai hanya karena ketidak cocokan? Begitu kira-kira pendapatnya. Dan menerima kembali laki-laki yang sudah mendapingi puluhan tahun lamanya dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya, bagi sahabatku ini adalah jauh lebih baik. “Semua orang pasti melakukan kekhilafan dan kesalahan dalam hidupnya, termasuk juga aku,” katanya bijak. Waktu kuliah dulu, ia bercerita termasuk mahasiswa yang cukup aktif berorganisasi dan termasuk mahasiswi favorit di kampusnya. Sehingga pernah suatu kali, ia memilki pacar lebih dari satu orang pada saat yang bersamaan. Dan suaminya yang sekarang adalah pacarnya yang kesekian yang berani berkomitmen mengajaknya menikah setelah ia gagal berpacaran serius dengan beberapa laki-laki sebelumnya.

Dan kalaupun suaminya kali ini melakukan kesalahan dalam perjalanan perkawinannya, buatnya hal bukan berarti dunia sudah kiamat, “ Karena kita masih memiliki puluhan tahun lainnya yang berisi kisah indah baik suka dan duka yang telah dilewati bersama.” Masih ada anak-anak yang juga harus menjadi salah satu pertimbangan. Apalagi kesalahan yang terjadi bukanlah sebuah kesalahan yang fatal hingga beresiko panjang ke depannya. “Tapi kita juga nggak bisa menyalahkan perempuan lain untuk tidak usah menyukai suami kita,” begitu lanjunya.

Kedua alisku terangkat, mukaku mengkerut. Kanapa tidak? Bukankah ini karena semua perbuatan perempuan itu hingga akhirnya suaminya tergoda? Temaku menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri. Bukan, katanya. Apa yang terjadi bukan karena kesalahan perempuan muda yang ingin merebut ayah anak-anaknya. Karena rasa cinta, kagum, rasa hormat orang lain tehadap suaminya adalah hak orang itu. Rasa itu tidak bisa dielakkan dan milik semua orang. Tinggal bagaimana kita menyikapi rasa yang sebetulnya datang pada saat dan tempat yang salah.

Jujur, saat itu aku hanya bertindak sebagai pendengar saja. Sekedar sharing disela-sela penatnya pekerjaan yang menumpuk. Daripada ngegossip yang bukan-bukan, mendengarkan penalaman sahabat yang terpaut umur lebih dari 15 tahun ini, rasanya lebih berharga untuk berbagi pengalaman hidup. Sekalipun dalam hati, aku meyakini sepenuhnya, hal itu tidak mungkin terjadi dalam kehidupan perkawinanku. Siapa pula yang mau menggoda aku atau suamiku yang hanya termasuk kelas rata-rata?

Aku tidak percaya pendapatnya bahwa meskipun hanya satu kali, tapi godaan berupa laki-laki atau perempuan dalam kehidupan perkawinan pasti terjadi………

Kamis, 12 November 2009

SEBUAH CATATAN DARI ZALEHA

Sebuah catatan pendek yang layak untuk direnungkan

Aku meminta Kekuatan,
Tuhan memberiku kesulitan
Untuk menjadikanku kuat

Aku meminta Hikmah,
Tuhan memberiku Masalah
Untuk diselesaikan

Aku meminta Kekayaan,
Tuhan memberiku akal dan otot
Untk bekerja

Aku meminta Keberanian,
Tuhan memberiku bahaya
Untuk dihadapi

Aku meminta cinta dan kasih sayang,
Tuhan memberiku orang-orang yang punya masalah
Untuk aku bantu

Aku meminta kehormatan,
Tuhan memberiku kesempatan
Aku tidak menerima apa-apa dari yang aku inginkan
Aku menerima semua yang aku butuhkan

Minggu, 25 Oktober 2009

CATATAN CINTA

Ketika cinta sudah mengetuk relung hati yang paling dalam,
Jangan pernah pedulikan orang mau berkata apa tentangnya.
Karena cinta menutup semua pintu kebohongan,pertentangan dan perbedaan
Pahit getirnya cinta menjadi sebuah pembelajaran menuju cinta yang lebih hakiki, sebuah pembuktian kesetiaan cinta yang tak akan lekang oleh waktu.
Dan waktu pula yang akan menjadi obat dari sebuah pengorbanan cinta
Ketika cinta sudah dalam genggaman, jangan pernah biarkan ia terkoyak dan tercerabut oleh tangan yang ingin mencuri kebahagiaan cinta.
Meskipun hidup penuh dengan rona dan warna
Karena menyusun kembali mozaik cinta terkadang terasa sakit, perih dan penuh dengan air mata berurai.
Tapi itulah sebuah perjuangan cinta dan sebuah perjalanan keikhlasan.
Adalah sebuah kebahagiaan yang tak dapat terungkap, ketika cinta bisa diperjuangkan. Berdamai dengan rasa sakit, berteman dengan rasa yang kerap terluka menjadi sebuah kemenangan cinta.
Sebuah pembuktian, apapun yang orang katakan, apapun yang orang lakukan, aku tetaplah seorang pemuja cinta. Dengan cinta yang tetap utuh dalam genggaman.
Dan biarkan orang lain terpana melihat semburat cinta kita.
Yang begitu indah, ikhlas, dan bertanggung jawab.
Karena bukan mereka yang akan memisahkan cinta, tapi ajal yang akan menjadi akhir dari perjalanan cinta. Untuk kembali dipertemukan nanti dalam sebuah keabadiaan cinta.

Bandung, 25 Oktober 2009
Untuk seorang lelaki yang sangat kucintai dan imam keluargaku. Jangan biarkan orang lain mengoyak cinta yang kita miliki.

Kamis, 15 Oktober 2009

DAMAI ITU PUN DALAM GENGGAMAN

Biarkan air mata ini jatuh berderai
Berlarian membasahi wajahku yang kuyu
Karena setiap butir air mata ini adalah butir rasa syukurku kepadaMu, Ya Illahi Robb
Sebuah pertanda begitu aku mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan
Yang tidak pernah mampu kuhitung
Karena begitu banyaknya nikmat telah Engkau berikan

Biarkan dada ini terasa sesak oleh derasnya arus kebahagiaan
Yang tidak mampu kubendung,
Tak akan kubiarkan arus terhenti hanya karena terpaan gelombang
Karena aku begitu terhanyut atas semua rahmatMu Ya Allah
Berharap semua tidak akan bermuara dan berakhir

Biarkan kehangatan itu terus mendekapku Ya Allah
Melenyapkan dinginnya kegelisah serta gundah gulana yang selama ini menerpa
Hingga api membara dan membakar amarah yang meletup membuncah
Menyisakan kedamaian dan ketenangan
Berharap tidak akan pernah lekang oleh waktu

Jangan biarkan damai ini berakhir Ya Robb
Tercabik oleh tangan yang henti-hentinya mencoba merobek,
Mencabik dan mencuri apa yang kami miliki
Karena semua itu akan sia-sia belaka
Karena damai itu akan kami genggam selamanya
Amien
Amien Ya Robbal Alamiiiin

Sabtu, 03 Oktober 2009

LELAH

Berikan aku udara
Untuk membantuku bernafas dari pengapnya udara malam ini
Karena aku nyaris tidak bisa bernafas karenanya

Berikan aku uluran tanganmu
Karena aku nyaris tenggelam ditengah derasnya cobaan
Tanpa sebuah pegangan yang pasti

Berikan aku dekapan
Untuk menghangatkanku dari deraan angin yang nyaris menghempaskanku

Berikan aku kecupan
Untuk meyakinkanku, bahwa engkau benar-benar mencintaiku
Karena itu sebuah pertanda bahwa cinta itu masih ada

Namun yang terpenting,
Berikan aku kasih serta keyakinan
Bahwa tidak pernah ada dusta diantara kita
Karena itu yang akan menguatkan perjalanan kita selanjutnya
Bukan sebuah kata maaf yang kerap terucap
Namun kita selalu kembali terpuruk dalam lubang yang sama
Lelah,
Sungguh!

Waktu terus berpacu
Masih banyak hal yang harus dihadapi
Akankan semuanya harus terulang dan terulang lagi?
Kapan semuanya akan berakhir?

Bandung, 1 Oktober 2009
Kelelahan itu sudah sampai pada puncaknya

Rabu, 23 September 2009

5 SYAWAL 1430 H

Ya Allah, Ya Robb
Perkenankan Hambamu yang hina ini menghadapMu
Yang hidup dalam kubangan dosa dan dipenuhi butiran kesalahan
Namun senantiasa rindu berada di dekatMu, serta memohon lindunganMu

Ya Allah Ya Robb
Yang Maha Tahu dan Maha Luas
Yang selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya

Kadang peluh kelelahan dan keluh kesah terlontar saat mengarungi ujianmu
Putus asa dan amarah pun menjadi sebuah puncak kekecewaan
Mengapa Engkau timpakan semua ini kepada kami Ya Robb?
Ampuni semua kesalahan dan kekhilafan kami selama ini
Karena kami tidak sanggup lagi mendayung di tengah derasnya arus cobaan
Karena dayung kadang tak kuat menahan derasnya gelombang
Sementara layar nyaris tercabik-cabik dihempas diterpa angin kencang

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allohu Akbar!
Mulut dan hati kami tak hentinya-hentinya berdzikir
Mengingat Engkau yang selalu mengetahui akhir dari perjalanan kami
Berdesisi perlahan namun kemudian semakin lama semakin keras melafalkan namaMu
Allohu Akbar!!
Hanya dengan kekuatanMu kami mampu tiba di seberang dengan selamat
Memecah arus gelombang yang sedemikian dahsyatnya
Meninggalkan angin kencang yang selalu mengikuti perjalanan ini
Allohu Akbar!!

Terima kasih Ya Robb, atas tuntunan yang telah Engkau berikan
Derasnya gelombang serta kerasnya tiupan angin membuat kami semakin kuat
Dan mengerti arti sebuah perjalanan
Yang tidak bisa senantiasa sesuai dengan rencana yang telah dibuat
Karena terkadang harus melewati jalan berkelok dan bergelombang
Namun kami tahu……
Inilah yang perjalanan terbaik yang Engkau berikan
Karena di akhir perjalanan, sebuah singgasana indah telah Engkau persiapkan
Terima kasih Ya Robb
Jangan pernah Engkau tinggalkan kami mengarungi perjalanan ini

Rabu, 16 September 2009

SEBUAH CATATAN YANG TERCECER

Kasih itu tulus, bersih dan hangat
Tidak pernah menuntut
Apalagi saling menyakiti

Kasih itu semburat perasaan cinta
Yang keluar sebagai ungkapan perasaan terdalam
Yang akan membuat hari-hari menjadi semakin indah dan penuh rona
Karena kasih dan cinta penuh dengan riak dan kemilau selaksa warna

Kasih itu indah
Yang menjadikan hari berganti hari menjadi lebih bermakna dan berbeda
Karena kasih terus terbina dan berkembang terus setiap hari
Disirami kesetiaan, kebersamaan dan saling mengasihi
Meski sesekali angin datang menghampiri, entah angin sepoi ataupun badai menerpa
Tapi kasih tetap tak tercerabut dari akarnya
Karena jari jemari kasih yang begitu kokoh dan saling menguatkan
Hingga badai pun tak mampu lagi memporak porandakan kasih yang sudah terbina
Karena Kasih dan kekuatan cinta tetap saling merekatkan dan saling mengingatkan
Semoga hanya kekuatan dan takdir sang Maha Kasih yang mampu memisahkan
Amien

Bandung, 16 September 2009
For my lovely husband, I love U so much
Love will keep us alive honey

Selasa, 03 Maret 2009

SEPENGGAL ASA

Sambil bergegas mengunci pintu mobil, sekilas aku melirik arloji di tangan kananku, jam 08.40, itu berarti aku datang agak lebih siang dari hari-hari biasanya. Ini hari ke empat aku datang kesiangan lagi ke kantor, padahal aku termasuk karyawan yang lumayan disiplin dengan jam kerja. Kuambil kartu absen Amano ku, gawat. Tinta absenku kembali berwarna merah. Yah, kalau sudah begini, paling tinggal menunggu panggilan dari HRD dalam beberapa hari ke depan. Nasib….

Deringan telpon sudah terdengar berkali-kali di meja reception meski pagi baru menjelang. Nani, receptionis kantorku terlihat begitu sibuk menerima dan menyambungkan telpon hingga ia tidak sempat menyapa bahkan melihat aku lewat di depan mejanya. Aku masuk keruangan dalam menuju mejaku yang terletak tepat di tengah ruangan. Beberapa meja teman-temanku sudah terisi pemiliknya, sebagian lagi kosong. Biasanya mereka sedang sarapan di pantry.

“Pagi Mbak. Tumben, datangnya kesiangan,” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecut menjawab sapaan Dani, office boy di kantor yang kebetulan sedang menaruh gelas berisi air putih di atas mejaku. Seandainya aku bisa tidur lebih awal, aku pasti tidak akan kesiangan begini, keluhku dalam hati. Beberapa hari belakangan ini aku memang selalu tidur larut malam, sulit rasanya untuk memejamkan mata.

Setelah meletakkan tas di atas meja, aku segera menekan power on CPU komputer. Sambil menunggunya running, aku mengambil kunci dan membuka laci meja untuk mengambil perangkat ATK ku. Kalau tidak kusimpan di laci sebelum pulang kantor, salah satu alat kantor ku pasti ada yang menghilang karena ada yg lupa mengembalikannya setelah meminjam dari mejaku. Padahal aku termasuk orang yang perfeksionis dalam urusan pekerjaan. Aku selalu ingat semua barang yang menjadi inventaris mejaku. Karena itu, sekecil apapun yang berubah atau yang hilang dari mejaku, aku pasti akan tahu. Karena itu, sebelum pulang kantor, setiap sore aku pasti menyimpan semua ‘barang berhargaku’ di laci supaya pagi-paginya tidak parno mencarinya kemana-mana.

Ah, komputernya sudah menyala. Aku segera masukkan password dan kembali mengeluarkan bahan-bahan pekerjaan yang akan kukerjakan pada hari ini. Beberapa teman sudah mulai beraktivitas. Pagi-pagi begini beberapa komputer di sekelilingku mulai ‘bersuara’ dengan berbagai aliran musik dan volume yang berbeda. Semua tergantung dari selera pemiliknya dan aku tidak bisa berkutik kalau sudah begitu. Seandainya ada peraturan perusahaan yang melarang karyawannya membunyikan volume komputernya terlalu keras. Lagi-lagi aku mengeluh…Pagi-pagi begini tidak usah dibikin bete dengan suasana kantor yang sudah riuh. Sebaiknya aku memulai hari dengan membuka e-mail, siapa tahu ada surat yang masuk dan belum sempat kubaca. Tapi ternyata inbox ku kosong.

“Hai. Pagi Mutia.” Suara itu tiba-tiba terdengar tepat dari depan komputerku. Sejenak jantungku rasanya berhenti berdetak. Suara bariton itu yang membuat malam-malamku menjadi begitu panjang karena sulit untuk memejamkan mata. Sorotan matanya yang tajam, suara lembutnya yang khas, hampir setiap malam hadir di benakku. Cerita sinetron ditelevisipun menjadi tidak menarik lagi untuk diikuti karena aku asyik merenda cerita sendiri di benakku.

“Hei! Pagi-pagi jangan melamum dong!,” Aku tersentak kaget, waduh, jangan sampai Marketing Manager ini tahu apa isi lamunanku. Bisa gawat! “Siapa yg lagi melamun?” aku berkilah. Victor tersenyum mendengar jawabanku. Ya Tuhan, senyuman itu….. begitu renyahnya! Aku semakin merana dibuatnya jika harus menatap sorotan matanya lama. “Tumben beberapa hari ini kamu kesiangan terus Tia. Sakit?” Dua kali sudah pertanyaan yang sama kudengar di pagi ini. Aku menggelengkan kepala,”Gak, aku Cuma lagi banyak pikiran aja kali Yud,” jawabku sambil membaca tumpukan kerfas fax yang baru datang dari pagi tanpa berani menatap tatapan matanya yang teduh.

“Oh, begitu. Makanya istirahat dong. Jangan kerja melulu,” katanya. Aku Cuma meringis, sambil mengangguk. Ya Tuhan! Seandainya Victor tahu apa yang membuatku beberapa hari ini bangun kesiangan terus. Itu karena malamnya aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan kamu, Victor!

“Hei! Kamu dicariin pak Djati tuh dari tadi pagi,” suara Victor kembali membuyarkan lamunanku. “Oh ya? Ngapain HRD manggil aku ya?” Aku balik bertanya menutupi kegugupanku, dan Victor menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu bidangnya.”Gak tau,” katanya.”Mendingan kamu sekarang ke ruangan dia deh. Siapa tahu urgent,” katanya. Dan Victor pun kembali bekerja dibalik mejanya yang terletak tepat disebelahku.

Aku segera bangkit dari kursiku dan berjalan menuju ruangan Pak Djati,bagian HRD. Ada apa ya sampai aku dipanggil HRD pagi-pagi begini? Janga-jangan karena beberapa hari ini aku selalu datang terlambat ke kantor dan Pak Djati sudah mengetahuinya? “Masuk Mutia,” kata Pak Djati begitu melihat aku berada tepat di depan pintu kacanya. “Pagi pak,” sapaku sambil menutup pintu kaca ruangan HRD dan duduk kursi tepat di depan meja Pak Djati. “Bapak mencari saya?”. Pak Djati mengangguk. “Iya,” jawabnya. Rupanya pak Djati tadi pagi mencariku dan Victor yang meja kerjanya hanya terpisah sekat dengan mejaku menjadi tahu.

“Begini Mutia,” Pak Djati mulai membuka pembicaraan pagi itu. Awalnya sebagai HRD Pak Djati memuji kinerja kerjaku yang cukup bagus. Aku juga terbilang cukup disiplin dengan pekerjaanku, dan seringkali aku terlambat pulang jika pekerjaan sedang menumpuk. Kondisi perusahaan yang mulai berkembang memang menuntutku sebagai marketing communication untuk bekerja ekstra dengan terus berhubungan dan berkomunikasi dengan pegawai lainnya baik di kantor pusat maupun di beberapa kantor cabang lainnya.

Beliau juga menceritakan tentang perkembangan pesat perusahaan dengan melakukan ekspansi dan membuka beberapa cabangnya di tahun ini.
Hampir setengah jam lamanya Pak Djati bercerita tentang situasi perusahaan. Sebetulnya isi pembicaraan pagi itu sudah pula kuketahui sesuai dengan tugasku sebagai karyawan bagian komunikasi di kantor ini. Tapi aku tidak menyela sedikitpun pembicaraan HRD ku ini. Sampai suatu saat Pak Djati berkata, “Dengan hampir 5 tahun bekerja diperusahaan ini, rasanya bekal kamu sudah cukup Mutia…” katanya. Sontak aku kaget mendengar perkataannya. Aku tidak mengerti arah pembicaraan Pak Djati. “Maksud Bapak….?,”tanyaku menyela pembicaraan Pak Djati.

“Begini maksudnya Mutia,” Pak Djati meneruskan perbincangan. “Saya sebagai HRD di perusahaan ini memiliki track record setiap karyawan termasuk kinerja kamu juga. Dan perusahaan percaya, kamu bisa memberikan kontribusi lebih banyak dengan memajukan group perusahaan ini dengan mengangkat kamu menjadi wakil kepala kantor cabang di Kalimantan,” Pak Djati tersenyum seraya mengulurkan tangannya hendak memberi ucapan selamat padaku.

Sejenak aku terdiam, menatap HRD ku yang masih tersenyum, “Ya Mutia. Kamu dipromosikan menjadi salah seorang wakil kepala kantor cabang yang baru,” katanya mengangguk sambil menyebutkan tepatnya kota yang bakal menjadi tempat baruku, Pontianak. Aku kembali terdiam. Aku pun menerima uluran tangan Pak Djati, “ Sukses ya Mutia,” katanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Sementara perasaanku berkecamuk antara senang dengan tugas baruku, tetapi juga sedih mengingat kota yang disebutkan Pak Djati cukup jauh dari Jakarta, bahkan berada di luar pulau Jawa.

Merantau memang bukan hal yang asing bagiku. Toh dari sejak duduk di bangku perguruan tingggipun sudah tidak tinggal lagi bersama keluargaku di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di selatan Jawa Barat. Dan hampir 5 tahun ini pun, aku tinggal di Jakarta dengan indekost di sebuah kamar yang tidak terlalu jauh dari kantor tempatku bekerja. Tanpa sadar satu persatu wajah mama, papa dan Raditya adikku begiliran muncul di benakku. “Semakin jauh saja teteh merantau.” Suara papa seolah terngiang di telingaku.

Sementara mama, seperti biasa akan melepasku dengan rentetan kata-kata yang nyaris sudah kuhafal di luar kepala karena selalu diucapkan ketika aku akan kembali ke ibu kota. “Jaga diri baik-baik Teh, jangan lupa shalat, berdoa minta lindungan Allah. Jangan lupa makan dan jaga kesehatan.” Begitu biasa mama melepas kepergianku.
Tiba-tiba wajah ketiganya hilang dari benakku, dan digantikan dengan kemunculan wajah yang selalu menghiasi malam-malamku. Wajah Victor dengan tatapan matanya yang selalu mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang …. Sosoknya yang telah membuat hari-hariku bersemangat untuk bekerja tanpa berkeluh kesah meski terkadang aku merasa pekerjaanku tiada habisnya. Dan, jika aku pindah ke kantor cabang baru, itu artinya aku akan meninggalkan kantorku yang sekarang dan berpisah dengan seluruh teman-temanku sekarang termasuk…..Victor? Akupun terhenyak, lemas….

“Kenapa Mutia?” sebagai seorang HRD Pak Djati tentu bisa membaca pikiranku. “Kamu tidak senang dengan promosi ini?” tanyanya. “Bukan, Bukan begitu Pak,” jawabku buru-buru agak terbata-bata. “Saya senang, saya berterima kasih dengan kepercayaan yang diberikan perusahaan kepada saya. Hanya saja saya agak terkejut mendengarnya hari ini,” lanjutku cepat. “Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat dalam seminggu ini ya. Kamu boleh cuti dulu ke Tasikmalaya untuk pamitan ke orang tua barang beberapa hari ini,” Pak Djati bijaknya. “Kamu mesti berangkat secepatnya karena setting perusahaan disana sudah ok semua.” Aku mengangguk sambil menelan ludah. Membayangkan waktu yang hanya 7 hari berpamitan kepada keluargaku, teman-temanku, dan berpisah dari Victor….

“Terima kasih pak atas kepercayaan yang diberikan. Mudah-mudahan pilihan bapak tepat dan saya bisa memberikan hasil yang terbaik buat perusahaan di tempat baru nanti. Tapi kalau boleh saya tahu, siapa kepala cabang disana? Karena setahu saya posisinya masih kosong juga kan Pak? Mungkin saya bisa berkomunikasi terlebih dahulu dari Jakarta,” kataku. “Oh, itu.” Kata Pak Djati. “Dia dari kantor Jakarta juga, Dan mungkin baru tiba di sana pada hari yang sama dengan kamu Mutia,”katanya. “Nantilah, kalian ketemu sendiri di kantor baru,” Pak Djati seolah menutup pembicaraan pagi itu dan enggan menyebutkan nama calon bosku nanti. Dan akupun segera keluar dari ruangan HRD dengan perasaan tidak karuan.

oooooooooooooooooo

Pagi ini aku tiba di kantor tepat waktu. Bahkan beberapa teman belum tampak batang hidungnya. Dan ini adalah dua hari menjelang keberangkatanku ke pos baruku yang baru di luar pulau Jawa. Besok pesawatku take off pukul 2 siang. Berarti ini aku hanya punya waktu hari ini untuk berpamitan dengan seluruh teman di kantor ini. Memang sih, aku bisa bertemu mereka karena menurut Pak Djati, meeting koordinasi seluruh cabang biasa diadakan di kantor pusat. Itu artinya, aku bisa wara-wiri ke Jakarta beberapa bulan sekali dan bertemu kembali dengan sahabat-sahabat lamaku.
Sejak dipanggil Pak Djati, aku memang belum sempat berpamitan dengan teman-temanku. Karena pemanggilan itu menjelang week end sehingga aku belum sempat bercerita panjang lebar dengan beberapa teman. Selanjutnya aku juga mengambil cuti beberapa hari menghabiskan waktu dengan pulang ke Tasikmalaya untuk bertemu keluarga sekaligus berpamitan kepada orang-orang yang menyayangiku.

Sudah kuduga sebelumnya. Papa dan Mama agak terkejut mendengar kota penugasannku. “Gak bisa milih tugas yang deket aja, Teh?” pertanyaan Ibu sempat membuatku tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Ma. Kalau perusahaan sendiri, Mutia pasti memilih tugas di Tasik saja, biar bisa deket terus sama Mama dan Papa.” Kupeluk Ibuku denagn erat. Andai Ibu tahu, Mutia juga malas pergi ke Pontianak bu….. Dengan berbagai penjelasanku, akhirnya mereka ikhlas melepas kepergianku ke Pontianak.
Baru kemarin aku kembali dari Tasik, dan hari ini aku sudah berniat untuk membereskan seluruh berkas di mejaku dan berpamitan kepada seluruh penghuni kantor pusat.

Kuraih frame berisi foto aku bersama beberapa teman ketika sedang outbond di Cibodas beberapa bulan lalu. Kutatap satu persatu wajah temanku sebelum memasukkan frame itu ke dalam boks yang sudah disiapkan Dani untuk kupakai packing semua data dan perlengkapanku Kapan ya, aku bisa having fun bersama Luna, Mey, Bella, Shinta lagi? I will miss you all guys! Satu persatu kucopy file yang kiranya nanti bakal kuperlukan ke flash disk yang sudah kusiapkan. Beberapa teman menghampiri dan menyapaku.

Mereka memberiku ucapan selamat. Sebagian dari mereka sudah tahu perihal tugas baru yang harus kujalani mulai besok. Mereka semua mensupportku habis.
Mey dan Bella bahkan membantuku packing semua barang-barangku ke dalam boks karton sambil sesekali mengomentarinya dengan becanda. Mereka bahkan berjanji untuk menghabiskan sisa malam ini dengan menginap di kamar indekostku. That’s what friends are for! Tapi, bukannya aku tidak menghargai bantuan teman-temanku, bagiku tetap saja ada yang kurang. Karena sejak aku datang, aku belum melihat Victor datang ke kantor.

Bertanya sama Mey atau Bella? Gengsi! Itu sama saja artinya aku merelakan diri untuk menjadi bahan olok-olokan antar mereka. Karena sedikitnya, mereka sudah bisa menangkap perasaanku terhadap Victor beberapa minggu belakangan ini.
Kamana ya Victor hari ini? Kok tumben, dia gak masuk kantor, atau langsung ketemu client di luar? Tapi ini sudah hampir tengah hari. Masa sih, ketemu client sampai lama begini? Kulirik meja yang berada tepat disebelah kiriku. Kenapa kosong dan bersih? Yang ada hanya seperangkat komputernya saja. Itupun dalam keadaan mati. Jangan-jangan….. Ah dasar norak, kenapa aku yang jadi gusar begini.

“Sudah dua hari ini Victor gak masuk kerja Mutia,” sepertinya Mey bisa membaca pikiranku. Aku mengangguk sekaligus kaget. “Oh. Sakit ya Mey?” tanyaku menyelidik. Kedua temanku tidak menjawab. Mereka hanya mengeryitkan dahinya mengisyaratkan tidak tahu. Tanpa sadar, akupun menghela nafas cukup panjang. Jadi, kapan aku bias pamitan sama Victor ya?

Seharian itu aku berusaha menyembunyikan perasaanku di depan semua teman-teman kantor. Aku memang sedih berpisah untuk waktu yang cukup lama, tapi aku lebih sedih lagi karena tidak bisa berpamitan dulu dengan Yudha. Padahal ini hari terakhir aku di kantor. Terlintas dikepalaku untuk menelpon atau sekedar mengirim short message service kepadanya. Sekedar berpamitan. Tapi aku takut dia malah memiliki persepsi lain nantinya. Aku pun membatalkannya.

Malam harinya, aku memang agak terhibur dengan kehadiran Mey dan Bella di kamar indekostku. Meskipun sejujurnya, sesekali dalam pikiranku melintas berbagai pertanyaan tentang Victor. Akhirnya kutulis sebuah pesan singkat, “Malam Victor, sorry ganggu. Aku cm mau pamitan krn hr ini adlh hr trkhirku di Jkrt. Mlai bsk aku bertugas di kntr cabang d Pontianak. Tadinya aku mau pamitan langsung, but I’m not see you today. So, sorry if I have a mistake during in our relationship , success for you and see you later. Bye! Kutekan tombol ok di handphone ku. Message sent. Begitu report yang kuterima kemudian.

Sampai larut malam aku, Mey dan Bella menghabiskan waktu malam itu dengan bercerita ngalor ngidul sambil bercanda. Berkali-kali kulihat layar handphone ku sekedar memastikan adakah pesan yang masuk tanpa kuketahui. Tidak ada pesan masuk, karena berbunyi pun tidak. Aku tidak memperdulikan lagi apakah Mey ataupun Bella bisa menangkap kegundahanku.Toh mulai besok aku tidak akan menjadi objek penderita becandaan mereka lagi. Becandaan yang selalu membuat wajahku merona merah karena
Victor terkadang mendengar juga guyonan teman-temanku.

Aku mengenal Victor sekitar 2 tahun belakangan ini, sejak pria kelahiran Jakarta ini bekerja di perusahaan tempatku bekerja dan menempati posisinya sebagai Marketing manager. Selama itu aku tidak pernah memiliki perasaan aneh terhadapnya. Tapi baru satu bulanan belakangan ini wajahnya, senyuman hangatnya, suaranya yang berwibawa, bahkan wangi parfumnya pun selalu mengganggu malam-malamku. Aku berusaha menyembunyikan semua ini, tapi tidak dengan ketiga teman dekatku. Tanpa bercerita kepada mereka, body language ku sudah bisa terbaca oleh mereka.

Malam itu, tidak seperti biasanya, kugenggam erat handphone ku tanpa meninggalkannya di atas meja yang letaknya dekat dengan spring bed ku seperti kebiasaanku setiap malam. Siapa tahu handpone ku berbunyi ketika aku sedang tertidur lelap. Dan aku bisa langsung membaca pesan yang terkirim tanpa harus menunggu sampai keesokan harinya……. Tapi hingga akhirnya pagi menjelang, SMS ku tidak pernah dibalasnya.

ooooooooo

Pagi harinya aku bangun dengan sangat malas. Begitu malasnya hingga Mey dan Bella sampai membangunkan aku untuk bersiap-siap. Rencananya aku akan pergi ke Cengkareng dengan diantar Pak Darso, sopir kantor. Namun karena aku membawa cukup banyak tas dan koper, maka Pak Darsono akan menjemputku di rumah.Pagi itu pun aku melepas Mey dan Bella untuk berangkat ke kantor.

“Take care ya Mutia. Do not ever forget to still keep in touch with us,” kata Mey pelan sambil mencium pipi kiri dan kananku. “Iya, jangan lupa kasih kabar begitu pesawat lu landing ya Mutia. Biar kita tahu,” Bella menimpali. Aku mengangguk pasti. “Satu lagi, jangan lupa kasih kabar kalau kamu sudah menemukan pangeranmu di sana,” Mey berkata sambil mengedipkan matanya ke arah Bella. Aku tersenyum kecut mendengar ejeken mereka. Ah, pengeranku, aku belum sempat berpamitan dengannya…..

Selepas keduanya berangkat, aku mempersiapkan diri sambil menunggu Pak Darso. Aku sarapan dengan nasi goreng sengaja dibuatkan ibu kost untukku pagi itu. Beliau sudah tahu tentang kepindahanku. Dan kau sudah berpamitan kepadanya kemarin. Pukul sepuluh padi Pak Darso datang menjemputku. Semua tas dan koper langsung dimasukkannya ke dalam bagasi mobil. Ibu kost yang melepas kepergianku.
Sebelumya kutatap seluruh isi kamar yang akan kutempati hampir selama 5 tahun belakangan ini. Terlalu banyak kenangan manis kutinggalkan disini. Tanpa terasa air mataku menggenang di pelupuk mata. “Jaga diri baik-baik Mutia,” ibu kost melepas seraya memelukku erat. Aku mengangguk hingga tangisan kecilku pecah di pundaknya.

Tidak seperti biasanya, perjalanan menuju Cengkareng menjadi sangat panjang bagiku. Berat rasanya memikikarkan kepergianku kali ini,seberat aku meninggalkan Victor tanpa berita…. Kupejamkan mata, membayangkan beberapa hari kebelakang yang indah hanya dengan mendengar guyonan Victor ataupun sekedar melihatnya datang.
“Mbak Mutia, kita sudah sampai,” suara Pak Darso membangunkanku. Rupanya mobil sudah memasuki terminal E dimana pesawatku akan membawaku terbang. Segera kuraih tas dan membereskan pakaian serta rambut lewat kaca spion mobil. Yup, aku sudah siap. Begitu semua barangku sudah diturunkan, Pak Darso pun langsung meluncur menuju kantor kembali. Tinggal aku dengan kereta dorong berisi tas dan koper untuk masuk dalam terminal dan segera melakukan check in.

Koper dan tas sudah ku masukkan ke dalam bagasi. Masih ada sekitar 50 menit lagi pesawatku take off ketika kuputuskan untuk segera masuk dan menunggu di dalam kabin pesawat. Toh tidak ada yang perlu kupamiti. Aku mampir sebentar di sebuah café yang berada di kawasan bandara. Kupesan secangkir coffe latte serta sepotong brownies almond.

Lumayan lah, bisa sedikit menghilangkan penatku. Apalagi sedari semalam rasanya aku tidak makan banyak menjelang keberangkatanku kali ini. Sempat kulirik hanphone pocket ketika hemdak membayar kopi di kasir. Siapa tahu hp ku berbunyi, begitu harapku. Tapi sia-sia. Sampai kopi dan brownies kuhabiskan, pengharanku tidak pernah terkabulkan.

Suara panggilan kepada seluruh passenger pesawat yang akan membawaku berangkat sudah terdengar. Bergegas kuraih tas dan beranjak pergi menuju pesawat. Pupus sudah semua asa yang kupendam beberapa bulan ini dengan sia-sia. “Tapi Victor juga tidak pernah tahu isi hati kamu, Mutia!” aku berbicara dengan diriku sendiri. “Jadi jangan salahkan dia juga kalau tidak pernah ngeh dengan perasaan kamu.” Aku mengangguk malu sendiri. Bagai punguk merindukan bulan. Masih untung Victor tidak tahu semua perasaanku kepadanya. Kalau sampai dia tahu dan mengaku tidak pernah punya perasaan yang sama dengan harapanku ………..??

Seketika itu juga aku merasa sangat beruntung dengan diamnya suara hanphone ku. Langkahku terasa menjadi ringan melewati ruang tunggu penunoang. Aku terus berjalan. Beberapa meter lagi aku memasuki lidah pesawat. Sudahlah. Lupakan semua aca yang pernah ada. Siapa tahu di tempat kerja baruku nanti aku menemukan seseorang yang bis amebgisi hari-hariku sama cerianya seperti di Jakarta.
Tiba-tiba, “Selamat siang Mutia….”

Aku terhenyak. Dadaku seolah berhenti berdetak. Langkahku tiba-tiba terhanti. Suara itu… suara itu sudah sangat familiar dengan telingaku. Refleks kepalaku mencari sumber suara yang berada tepat dibelakangnku. Langkahku tiba-tiba terhenti. Jantungku berdegup kencang. Mulut seakan kelu untuk sekedar menjawab sapaannya.

Orang berdiri tepat dibelakangku adalah orang yang sudah sangat kekenal. Dan dialah yang selalu mengisi hari-harku menjadi lebih indah dari hari sebelumnya.
“Ka…kamu mau kemana Vic?” akhirnya aku bisa bertanya setelah beberapa saat menenangkan diri. Kuperhatikan Victor dari atas kepala hingga ujung sepatunya. Sepertinya Victor akan melakukan perjalanan jauh dengan beberapa koper serta tas yang dijinjingnya. Ia tersenyum mendengar pertanyaanku.”Coba tebak, aku mau kemana?” Tanya Victor tersenyum nakal. Aku menggelen sambil mengangkat kedua bahku. Nggak tahu. “Aku mau ke Pontianak juga, Mutia. Sama seperti kamu,” jawabnya enteng seraya mengampit lengan kananku untuk menepi barang sesaat.
Kepalaku mendadak terasa pening. Badanku serasa melayang mendengar jawaban Victor tadi. Kucoba mengurai jawabannya dengan semua peristiwa yang terjadi beberap ahari belakangan ini. Dan dengan susah payah, akhirnya kutemukan sebuah benang merahnya.
“Ha?! Jadi…..Jadi … kamu yang akan menjadi kepala cabang perusahaan kita disana?”aku berhenti berjalan seraya menatap wajahnya. Victor mengagguk tersenyum, “Kenapa? Kaget ya?”

Kupukul dada bidangnya, “Kamu jahat Vic, kenapa tidak pernah bilang sama aku?” suaraku kini terdengar agak tersendat. “Maaf Mutia, aku sengaja merahasiakannya dari kamu. Karena aku ingin memberi sebuah surprise.” Rasa bersalah terbersit dari raut muka calon bosku ini. Ternyta, ketika aku ke Tasikmalaya untuk berpamitan kepada orang tua, Victor rupanya sengaja menghabiskan cuti juga untuk memuluskan kejutannya untukku. Berbeda dengan aku, Pak Djati sudah lebih dahulu memberitahu Victor perihal pemindahanka tempatnya bekerja, sekaligus juga memberi tahu bahwa aku yang akan menjadi wakilnya disana. Dan yang paling membuatku kaget, Mey, Bella dan Luna terlibat dalam persekongkolan ini….

Ya Tuhan. Pantas Victor tidak membalas SMS ku semalam, dan bodohnya, aku menuggunya hingga pagi tanpa melepaskan handhoneku barang sesaat! Tanpa bisa kutahan, air mataku menetes perlahan di pipi kiri dan kananku. Dengan sigap Victor menghaspusnya.”Maafkan aku ya Mutia. Aku sudah bikin kamu nangis begini. Tapi aku berjanji akan selalu berada didekatmu dan menjagamu mulai dari hari ini,” Victor menggenggam erat kedua tanganku. Ia pun meraih pundakku dan menuntunku untuk berjalan beriringan memasuki kabin pesawat. (end)

Rabu, 25 Februari 2009

TUHAN PILIHKAN JALAN YANG TERBAIK

Menyalahkan takdir yang telah menimpa kerap kita lakukan sebagai manusia. Seolah tidak pernah sedetikpun Tuhan berpihak kepada kita dengan menimpakan duka nestapa yang terkadang terasa begitu berat, sakit dan pahit untuk dijalani. Rasa sakit yang mendera, air mata yang menggenang menjadi saksi betapa kita berat menjalani sebuah rencana besar Tuhan, Kerikil tajam, jalan berkelok serta berliku kerap tidak bisa kita pahami, apa sebenarnya rencana Tuhan kedepan? Ketika terjatuh dalam sebuah lembah duka, kita seolah merasa sebagai seorang manusia paling teraniyaya di seluruh jagad bumi ini.


Mengapa kebahagiaan seolah sulit untuk diraih? Tidak adilkan Tuhan terhadapku? Apakah ini cobaan atau justru musibah yang Tuhan timpakan? Apa sebenarnya dosa hambamu ini ya Tuhan? Kapan Semua ini akan berakhir? Bertubi-tubi pertanyaan kita lontarkan sekaligus mencari jawabannya lewat bersujud menghadapnya di tengah malam dengan deraian air mata. Namun tatkala duka nestapa berakhir dan berbagai kemudahan bisa didapat dengan hasil yang sangat maksimal, kita terkadang lupa dengan kebaikan yang telah Tuhan berikan……

Terlahir sebagai anak bungsu dengan 4 saudara kandung membuat saya menjadi seorang anak yang keras dalam berpendirian. Apa yang saya inginkan, harus selalu saya peroleh, entah itu dengan cara merajuk ataupun dengan berusaha sekeras mungkin. Maklum, sebagai anak bungsu, kedua orang tua dan sanak saudara begitu memanjakan saya. Sehingga dengan begitu mudahnya mereka penuhi keinginan-keinginan saya.


Apalagi diantara keempat saudara yang lain, saya termasuk anak yang berotak encer, alias pintar. Terbukti dari sejak sekolah di Taman Kanak-kanak, SMP, hingga SMA, nilai rata-rata raport saya selalu di atas angka 8. Dan saya pun selalu menempati rangking 3 besar di kelas. Tidak heran ketika kemudian saya menjadi anak yang begitu membanggakan orang tua dan saudara lainnya.


Bahkan, di akhir bangku SMA, ketika semua teman-teman tengah berkutat mempersiapkan diri dengan setumpuk bahan menghadapi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), saya sudah bisa berleha-leha tanpa pusing memikirkan soal-soal yang bakalan keluar nanti – sekaligus sibuk juga mencari bocoran kunci jawabannya.. Karena saya termasuk salah satu siswa yang diterima lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) di universitas negeri di kota kelahiranku.


Bertahun-tahun lamanya saya merasakan berbagai kemudahan berkat kemurahan yang Tuhan berikan. Kebaikan Tuhan terasa berlipat tatkala jurusan yang saya masuki adalah jurusan yang bisa menyalurkan bakat menulis yang sudah tumbuh sejak kecil. Saya memang seorang pemimpi sejak kecil. Dan semua mimpi serta angan-angan itu saya tuangkan dalam sebuah diary kecil yang selalu diisi setiap malam menjelang tidur. Lembar demi lembar saya tuangkan semua keluh kesah di sepanjang hari itu, termasuk juga curhat tentang seluruh isi hati.


Terkadang diary saya terbaca –atau bahkan sengaja dibaca- oleh salah satu kakak perempuanku. Masih lekang dalam ingatan saya menjadi bulan-bulanan ejekan seluruh keluarga saat berkumpul di meja makan untuk makan malam. Saat itu saya masih duduk dibangku kelas 2 SMP dan sedang naksir seorang teman sekelas. Mereka menyebut nama cowok idamnanku saat itu yang membuat seluruh mukaku merah. Maklumlah, cinta monyet. Kalau tidak ada mama yang melerai olokan itu, saya pasti sudah menangis saking malunya.


Karena itulah jurusan Ilmu Jurnalistik, semakin mengasah kemampuan menulis sekaligus juga menyalurkan bakatku. Tidak sampai lima tahun saya sudah bisa menyelesaikan studi saya dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) mencapai 3,2. Lagi-lagi, ini adalah kebanggaan keluarga besar karena diantar 4 saudara kandungku, hanya si bungsu yang dapat menyelesaikan pendidikan S1 nya dengan tepat waktu dan nilai yang cukup membanggakan. “Selesai sudah tugas orang tua membekali kamu untuk menjalani hidup ke depan dengan menjadi seorang sarjana,” begitu kata almarhum Bapa di hari wisudaku. “Sekarang tinggal kamu sendiri yang harus menjalani hari-hari kedepan tanpa tergantung lagi pada kami,” lanjutnya yang membuatku terhenyak. Seberapa berat masa depan mesti kujalani? Sampai saat itu, semua kata-kata Bapak belum dapat tercerna dengan baik.


Hingga akhirnya 3 bulan kemudian saya diterima bekerja menjadi seorang wartawan di sebuah dwi mingguan terkenal ibu kota. Barulah saya mulai mengerti apa arti dibalik kata-kata Bapak menjelang pelepasann wisudawan di kampus hari itu.

Betapa tidak. Dari seorang anak yang terbiasa selama bertahun-tahun terus diawasi dan dipenuhi segala keinginannya, semenjak memasuki dunia keja, seolah saya dilepas di hutan belantara kota Jakarta. Saya harus bangun lebih pagi karena untuk menuju tempat bekerja, minimal saya harus turun berganti kendaraan umum dari mikrolet, metromini, hingg bis kota sebanyak 4 kali. Begitu melelahkan.


Di awal bekerja saya sempat keteteran –terkejut lebih tepatnya- dengan perubahan ritme hidup serta culture ibu kota yang serba cepat, keras dan sangat individual. Sedikit demi sedikit saya mampu mengikuti perubahan yang terjadi hingga akhirnya bisa menikmati rutinitas dunia bekerja di ibu kota Jakarta. Selama dua tahun lebih saya belajar menjadi seorang wartawan bertemu dengan berbagai nara sumber yang terkadang menjadi idola saya sedari dulu.

Hingga suatu ketika , saya terpaksa harus mengundurkan diri karena pada saat ditugaskan meliput sebuah peristiwa besar di luar pulau Jawa, pada saat itu pula mama di Bandung menderita stoke dan harus dirawat di rumah sakit. Sebagai anak saya lebih memilih mendampingi hari-hari beliau di rumah sakit, meskipun untuk itu saya terpaksa melepaskan pekerjaan yang begitu dicita-citakan semenjak kecil.


Menikmati pekerjaan dengan menyenangkan semakin membentuk saya menjadi seorang pribadi yang mandiri bahkan cenderung egois. Sejalan dengan itu, usia pun semakin merambat merubah seorang anak bungsu yang cengeng menjadi seorang gadis yang sudah dewasa yang penuh percaya diri. Beberapa kali saya sempat merajut hubungan, tapi semuanya tidak pernah berakhir di pelaminan. Kandas dengan berbagai sebab danalasan. Sempat terlintas dibenak untuk menjadi seorang single parent dengan mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Karena laki-laki buat saya menjadi tidak penting lagi. Rencana tinggalah rencana, karena akhirnya saya lebih terfokus untuk berdekatan dengan mama ketika beliau menderita sakit.


Sakit serta perihnya kehidupan mulai saya rasakan. Ketidak adilan Tuhan mulai saya pertanyakan. Tuhan, mengapa disaat saya mulai mengembangkan karier yang begitu diidamkan, pada saat itu pula saya harus kehilangan pekerjaan karena saya memilih mendampingi merawat orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan saya? Mengapa saya tidak bisa menjalani keduanya secara bersamaan? Baru kali ini saya merasa Tuhan tidak berpihak pada hambanya.


Ketika akhirnya mama bisa sembuh dan bisa beraktivitas seperti sedia kala, pada saat itulah saya mulai sibuk mencari-cari pekerjaan baru. Hampir setiap hari saya membeli Koran lokal dan ibu kota mencari lowongan pekerjaan yang cocok. Selama hampir 6 bulan lamanya saya jobless. Uang tabungan sudah terkuras habis untuk mengirim lamaran ke berbagai perusahaan. Hingga akhirnya saya diterima menjadi seorang wartawan majalan bulanan, masih di ibu kota. Rutinitas yang sempat saya tinggalakan selama beberapa bulan lamanya kembali saya jalani. Bangun pagi, berebut kendaraan umum, terjebak macet dan pulang larut malam kembali menjadi keseharian.


Ketika keluar dari tempat pertama bekerja,saya sempat menghujat Tuhan. Tapi ketika satu tahun saya jalani ditempat yang baru, saya baru mengerti rencana Tuhan yang sebenarnya. Karena ditempat itulah saya bertemu, berkenalan dengan seorang lelaki yang akhirnya mempersunting saya hingga saat ini. Kadang saya merenung, mungkin dulu kalau seandainya saya ngotot untuk pergi bertugas ke luar pulau Jawa selama beberapa bulan dan meninggalkan mama yang tengah terbaring sakit, boleh jadi saya tidak akan pernah bisa bertemu bahkan berjodoh dengan suami saya ini. Siapa tahu hingga saat ini saya masih single saking asyik dan terhanyut dunia kerja? Itulah rencana Tuhan terindah yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya.(end)

Sepenggal Kisah Kehidupan

Menjadi seorang wanita bekerja adalah sebuah pilihan hidup sekaligus juga ibadah. Dan itu sudah aku lakoni sejak menjadi seorang sarjana sekitar 13 tahun yang lalu. Akan menjadi semakin indah ketika perempuan mampu membagi 24 jam waktunya untuk mengurus suami, keluarga dan anak-anak. Disinilah kepiawaian seorang perempuan diuji dalam mengelola waktu seefiktif dan seefisien mungkin dipertaruhkan.

Pada kondisi seperti itu, jargon “Yang penting adalah kualitas waktu bersama keluarga, bukan kuantitasnya,’ menjadi sebuah pembenaran.

Beberapa kali aku sempat pindah kerja dengan berbagai alasan yang berbeda. Karena tidak cocok dengan management yang berlaku, atau harus ikut suami pindah bekerja ke kota lain, hingga perusahaan yang mempekerjakan terkena dampak krisis moneter dan terpaksa melakukan PHK secara massal. Padahal di tempat yang terakhir ini, aku sudah mengabdi hampir selama 10 tahun. Dan tanpa memandang lamanya bekerja, aku yang pada saat itu sudah pada level manager menjadi salah satu karyawan yang terkena pemutusan kerja tersebut. Untuk melamar dan pindah ke perusahaan yang lain sangat sulit, mengingat usia sudah tak muda lagi disamping kondisi ekonomi secara keseluruhan saat itu juga memang sedang menurun.

Kaget, kecewa, bahkan nyaris putus asa sempat menyelimutiku selama beberapa lama. Rasa percaya diri perlahan terkikis bahkan hampir hilang. Beruntung aku seorang perempuan yang bukan seorang penopang keluarga. Masih ada suami yang menjadi penanggung jawab sepenuhnya terhadap perekonomian keluarga. Pengertian dan perhatian suami perlahan mampu membangkitkan semangat hidup kembali. “Berhenti bekerja bukanlah akhir dari segala-galanya.” Begitu katanya selalu. Toh sebagai istri, aku masih punya suami, anak, dan keluarga yang lebih membutuhkan waktuku.

Bisa jadi, berhenti menjadi seorang wanita karir juga sebuah teguran Tuhan terhadapku untuk lebih fokus mengurus dua malaikat kecil yang masih butuh perhatian seorang ibunya secara lebih intesns lagi. Mengantarkan mereka kesekolah, menemani makan siang, atau sekedar membacakan cerita menjelang tidur, nyaris tidak pernah lagi kulakukan sejak beberapa tahun belakangan ini. Semuanya aku percayakan kepada dua orang pengasuh yang mendampingi anak-anak selama ibunya berada di luar luar.

Parahnya lagi, aku termasuk anggota keluarga yang paling banyak absen ketika keluarga besar mengadakan acara. Ada saja kegiatan kantor yang membuatku terpaksa mangkir bertemu sanak saudara. Entah sedang sibuk mengikuti seminar, ada training di luar kota, raker bersama kantor pusat atau pekerjaan yang mengharuskan aku lembur hingga larut malam. Sampai akhirnya keluargaku terkenal sebagai keluarga yang tidak bisa diharapkan hadir di berbagai acara keluarga seperti arisan ataupun syukuran. Harus diakui, pada saat itu aku memang mengalami kesulitan membagi waktu untuk bekerja, keluarga serta mengurus anak yang masih balita.

Dan semenjak berhenti bekerja, semuanya ingin ku tebus kembali. Menyiapkan pakaian suami serta kebutuhan sarapan anak-anak menjadi rutinitas harian. Wajah anak-anak terlihat begitu sumringah ketika tahu ibunya akan mengantarkan mereka hingga ke gerbang sekolah. Tidak lagi hanya sampai pintu pagar rumah seperti dahulu. Siang harinya, aku setia dan sabar menunggu kedatangan mereka dari sekolah dengan menyiapkan makan siang dan siap mendengar celotehan mereka yang seolah berlomba ingin menceritakan apa saja yang sudah mereka alami seharian ini. Sungguh, sebuah suasana yang kembali bisa ku nikmati dan syukuri karena sudah lama hilang dari kehidupanku.

Sampai suatu ketika, aku mendapat kabar bahwa penyakit paru-paru ayah kambuh lagi. Kali ini menurut diagnosa dokter yangbiasa merawat kesehatan ayah, lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Sudah hampir 3 tahun terakhir ini paru-paru sebelah kiri ayah memang sedikit bermasalah dan tidak bisa mengembang akibat terlalu banyak merokok di usi mudanya. Menurut dokter, penyakit ayah kali ini sudah sangat kritis dan kembali harus kembali diopname di rumah sakit.

Masih lekang dalam ingatanku, ketika beberapa kali ayah sempat pula dirawat di rumah sakit, sebagai anaknya, hanya sesekali aku menunggui beliau karena begitu sempitnya waktu yang ku miliki kala itu. Ayah sangat maklum dengan kondidi anak kesayangannya. Tapi untuk sakit ayah kali ini, rasanya bodoh jika aku masih juga mengulangi kebodohan yang sama.

Aku minta ijin suami dan bicara kepada anak-anak untuk menjaga ayah siang dan malam di rumah sakit. Beruntung keluargaku sangat mengerti dan memahami kondisiku. Mereka sangat ikhlas bahkan hampir setiap pulang bekerja suami menyempatkan dirinya atau bersamana dua buah hatiku datang menjenguk ayah di rumah sakit. Sekalian membawakan makanan serta baju ganti untukku.

Entah karena ingin menebus dosa masa lalu atau karena khawatir melihat kondisi ayah yang semakin kritis diusianya yang 79 tahun, saat itu aku seolah tidak ingin jauh dari ayah. Saat hari pertama masuk ke ruang perawatan di rumah sakit, ayah masih bisa diajak berkomunikasi meskipun sudah lemah. Aku masih bisa mohon maaf atas semua kesalahan terhadap beliau. Dan sebagai orang yang selalu mensupportku sejak kecil, beliau memaklumi dan memaafkannya.

Aku sangat lega mendengar semua ucapan ayah. Dan dihadapan ayah serta ibu, dengan berurai air mata, aku berjanji padanya, “Tidak akan pernah sedetik pun aku akan meninggalkan ayah dan ibu.” Ayah tersenyum lemah seraya mengusap rambutku dengan hangatnya. Beliau bahkan setuju, sepulang dari rumah sakit akan tinggal dirumahku bersama ibu agar aku dapat menjaga dan merawat mereka. Dan selanjutnya, adikku satu-satunya yang masih lajang yang akan merawat rumah yang mereka tinggali selama ini. Apalagi selama ini, adik memang masih tinggal bersama kedua orang tuaku karena belum menemukan jodohnya.

Dari hari kehari, kondisi ayah tidak juga semakin membaik. Dan dokter hanya berpesan agar kami anggota keluarganya sedapat mungkin berusaha memenuhi permintaan ayah. Entahlah, mungkin ini adalah sebuah isyarat bagi kami agar tidak terlalu berharap dengan kondisi ayah. Karena melihat tubuh ayah yang semakin kurus dan lemah saja, sudah membuat saya menangis. Bersama adik, kami menunggu, merawat serta berdoa untuk ayah siang dan malam. Sementara ibu lebih banyak menjaga pada siang hari mengingat usia beliau pun yang juga sudah sepuh.

Pada hari kedelapan ketika aku baru saja melepas mukena sehabis shalat subuh, mendadak ayah susah bernafas. Dadanya terlihat tersengal sengal. Ayah terlihat sangat susah untuk bernafas. Sementara matanya tertutup rapat. Aku tercekat melihatnya. Dada ayah turun naik perlahan namun terlihat susah. Ingin rasanya aku membatu ayah bernafas. Aku hanya sendiri di ruangan saat itu. Adik yang biasanya bersama aku pada malam hari sebelumnya minta ijin tidur di rumah karena merasa kurang enak badan karena kecapaian akibat terus menerus tidur di rumah sakit. Kutekan bel memanggil suster. Suami, ibu, adik langsung aku telpon dan meminta mereka untuk segera datang ke rumah sakit. Perasaanku mengatakan lain.

Beberapa suster berdatangan ke ruangan, lalu kemudian kudengar salah satu dari mereka hendak menelpon ke dokter karena kondisi ayah yang semakin kritis. Satu persatu anggota keluarga berdatangan. Semua langsung berkumpul mengelilingi ayah sambil terus berdoa. Dan aku terus membisikan lafadz illahi ketelinga ayah sambil menahan tangis dan sesekali menyusut air mata. Aku berusaha menuntun ayah sebisa mungkin. Dengan gerakan yang sangat lemah aku melihat mulut ayah bergerak mengikuti setiap lafadz yang aku ucapkan perlahan. Aku tahu, ini adalah saat terakhir saya mendampingi ayah.

Sesaat kemudian, dokter bersama suster beberapa kali mencoba memancing nafas ayah yang sudah semakin melemah dengan menggunakan alat pacu. Kami semakin khusuk berdoa untuk ayah. Sampai akhirnya detak jantung ayah terlihat perlahan mendatar di monitor. Sontak aku menjerit mendekap tubuh ayah yang masih hangat. Ibu terlihat lebih pasrah meskipun beliau adalah orang yang paling kehilangan dengan kepergian ayah. Dan adik, tak henti-hentinya menangis Innalillahi wainna ilaihi rojiuun..

Selamat jalan ayah. Doa kami, orang-orang yang mengasihimu senantiasa menyertaimu.

Sedih sudah pasti. Merasa kehilangan pun sudah tentu. Tapi paling tidak, aku tidak terlalu dibebani lagi rasa bersalah dengan kesalahan dimasa lalu. Diakhir hidup ayah, aku masih diberi kesempatan untuk merawat dan mendampinginya hingga menghadap sang khalik. Mendampingi ayah-ayah dihari-hari terakhirnya sungguh sebuah pengalaman yang palingberharga bagiku. Semoga akupun bisa melakukan hal yang sama terhadap ibu. Dan semua itu tidak mungkin bisa kua lakukan jika aku masih terikat sebagai karyawan disebuah perusahaan. Terima kasih Tuhan. Inilah pilihan hidup terbaik yang Engkau berikan padaku. (end)