Menyalahkan takdir yang telah menimpa kerap kita lakukan sebagai manusia. Seolah tidak pernah sedetikpun Tuhan berpihak kepada kita dengan menimpakan duka nestapa yang terkadang terasa begitu berat, sakit dan pahit untuk dijalani. Rasa sakit yang mendera, air mata yang menggenang menjadi saksi betapa kita berat menjalani sebuah rencana besar Tuhan, Kerikil tajam, jalan berkelok serta berliku kerap tidak bisa kita pahami, apa sebenarnya rencana Tuhan kedepan? Ketika terjatuh dalam sebuah lembah duka, kita seolah merasa sebagai seorang manusia paling teraniyaya di seluruh jagad bumi ini.
Mengapa kebahagiaan seolah sulit untuk diraih? Tidak adilkan Tuhan terhadapku? Apakah ini cobaan atau justru musibah yang Tuhan timpakan? Apa sebenarnya dosa hambamu ini ya Tuhan? Kapan Semua ini akan berakhir? Bertubi-tubi pertanyaan kita lontarkan sekaligus mencari jawabannya lewat bersujud menghadapnya di tengah malam dengan deraian air mata. Namun tatkala duka nestapa berakhir dan berbagai kemudahan bisa didapat dengan hasil yang sangat maksimal, kita terkadang lupa dengan kebaikan yang telah Tuhan berikan……
Terlahir sebagai anak bungsu dengan 4 saudara kandung membuat saya menjadi seorang anak yang keras dalam berpendirian. Apa yang saya inginkan, harus selalu saya peroleh, entah itu dengan cara merajuk ataupun dengan berusaha sekeras mungkin. Maklum, sebagai anak bungsu, kedua orang tua dan sanak saudara begitu memanjakan saya. Sehingga dengan begitu mudahnya mereka penuhi keinginan-keinginan saya.
Apalagi diantara keempat saudara yang lain, saya termasuk anak yang berotak encer, alias pintar. Terbukti dari sejak sekolah di Taman Kanak-kanak, SMP, hingga SMA, nilai rata-rata raport saya selalu di atas angka 8. Dan saya pun selalu menempati rangking 3 besar di kelas. Tidak heran ketika kemudian saya menjadi anak yang begitu membanggakan orang tua dan saudara lainnya.
Bahkan, di akhir bangku SMA, ketika semua teman-teman tengah berkutat mempersiapkan diri dengan setumpuk bahan menghadapi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), saya sudah bisa berleha-leha tanpa pusing memikirkan soal-soal yang bakalan keluar nanti – sekaligus sibuk juga mencari bocoran kunci jawabannya.. Karena saya termasuk salah satu siswa yang diterima lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat) di universitas negeri di kota kelahiranku.
Bertahun-tahun lamanya saya merasakan berbagai kemudahan berkat kemurahan yang Tuhan berikan. Kebaikan Tuhan terasa berlipat tatkala jurusan yang saya masuki adalah jurusan yang bisa menyalurkan bakat menulis yang sudah tumbuh sejak kecil. Saya memang seorang pemimpi sejak kecil. Dan semua mimpi serta angan-angan itu saya tuangkan dalam sebuah diary kecil yang selalu diisi setiap malam menjelang tidur. Lembar demi lembar saya tuangkan semua keluh kesah di sepanjang hari itu, termasuk juga curhat tentang seluruh isi hati.
Terkadang diary saya terbaca –atau bahkan sengaja dibaca- oleh salah satu kakak perempuanku. Masih lekang dalam ingatan saya menjadi bulan-bulanan ejekan seluruh keluarga saat berkumpul di meja makan untuk makan malam. Saat itu saya masih duduk dibangku kelas 2 SMP dan sedang naksir seorang teman sekelas. Mereka menyebut nama cowok idamnanku saat itu yang membuat seluruh mukaku merah. Maklumlah, cinta monyet. Kalau tidak ada mama yang melerai olokan itu, saya pasti sudah menangis saking malunya.
Karena itulah jurusan Ilmu Jurnalistik, semakin mengasah kemampuan menulis sekaligus juga menyalurkan bakatku. Tidak sampai lima tahun saya sudah bisa menyelesaikan studi saya dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) mencapai 3,2. Lagi-lagi, ini adalah kebanggaan keluarga besar karena diantar 4 saudara kandungku, hanya si bungsu yang dapat menyelesaikan pendidikan S1 nya dengan tepat waktu dan nilai yang cukup membanggakan. “Selesai sudah tugas orang tua membekali kamu untuk menjalani hidup ke depan dengan menjadi seorang sarjana,” begitu kata almarhum Bapa di hari wisudaku. “Sekarang tinggal kamu sendiri yang harus menjalani hari-hari kedepan tanpa tergantung lagi pada kami,” lanjutnya yang membuatku terhenyak. Seberapa berat masa depan mesti kujalani? Sampai saat itu, semua kata-kata Bapak belum dapat tercerna dengan baik.
Hingga akhirnya 3 bulan kemudian saya diterima bekerja menjadi seorang wartawan di sebuah dwi mingguan terkenal ibu kota. Barulah saya mulai mengerti apa arti dibalik kata-kata Bapak menjelang pelepasann wisudawan di kampus hari itu.
Betapa tidak. Dari seorang anak yang terbiasa selama bertahun-tahun terus diawasi dan dipenuhi segala keinginannya, semenjak memasuki dunia keja, seolah saya dilepas di hutan belantara kota Jakarta. Saya harus bangun lebih pagi karena untuk menuju tempat bekerja, minimal saya harus turun berganti kendaraan umum dari mikrolet, metromini, hingg bis kota sebanyak 4 kali. Begitu melelahkan.
Di awal bekerja saya sempat keteteran –terkejut lebih tepatnya- dengan perubahan ritme hidup serta culture ibu kota yang serba cepat, keras dan sangat individual. Sedikit demi sedikit saya mampu mengikuti perubahan yang terjadi hingga akhirnya bisa menikmati rutinitas dunia bekerja di ibu kota Jakarta. Selama dua tahun lebih saya belajar menjadi seorang wartawan bertemu dengan berbagai nara sumber yang terkadang menjadi idola saya sedari dulu.
Hingga suatu ketika , saya terpaksa harus mengundurkan diri karena pada saat ditugaskan meliput sebuah peristiwa besar di luar pulau Jawa, pada saat itu pula mama di Bandung menderita stoke dan harus dirawat di rumah sakit. Sebagai anak saya lebih memilih mendampingi hari-hari beliau di rumah sakit, meskipun untuk itu saya terpaksa melepaskan pekerjaan yang begitu dicita-citakan semenjak kecil.
Menikmati pekerjaan dengan menyenangkan semakin membentuk saya menjadi seorang pribadi yang mandiri bahkan cenderung egois. Sejalan dengan itu, usia pun semakin merambat merubah seorang anak bungsu yang cengeng menjadi seorang gadis yang sudah dewasa yang penuh percaya diri. Beberapa kali saya sempat merajut hubungan, tapi semuanya tidak pernah berakhir di pelaminan. Kandas dengan berbagai sebab danalasan. Sempat terlintas dibenak untuk menjadi seorang single parent dengan mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Karena laki-laki buat saya menjadi tidak penting lagi. Rencana tinggalah rencana, karena akhirnya saya lebih terfokus untuk berdekatan dengan mama ketika beliau menderita sakit.
Sakit serta perihnya kehidupan mulai saya rasakan. Ketidak adilan Tuhan mulai saya pertanyakan. Tuhan, mengapa disaat saya mulai mengembangkan karier yang begitu diidamkan, pada saat itu pula saya harus kehilangan pekerjaan karena saya memilih mendampingi merawat orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan saya? Mengapa saya tidak bisa menjalani keduanya secara bersamaan? Baru kali ini saya merasa Tuhan tidak berpihak pada hambanya.
Ketika akhirnya mama bisa sembuh dan bisa beraktivitas seperti sedia kala, pada saat itulah saya mulai sibuk mencari-cari pekerjaan baru. Hampir setiap hari saya membeli Koran lokal dan ibu kota mencari lowongan pekerjaan yang cocok. Selama hampir 6 bulan lamanya saya jobless. Uang tabungan sudah terkuras habis untuk mengirim lamaran ke berbagai perusahaan. Hingga akhirnya saya diterima menjadi seorang wartawan majalan bulanan, masih di ibu kota. Rutinitas yang sempat saya tinggalakan selama beberapa bulan lamanya kembali saya jalani. Bangun pagi, berebut kendaraan umum, terjebak macet dan pulang larut malam kembali menjadi keseharian.
Ketika keluar dari tempat pertama bekerja,saya sempat menghujat Tuhan. Tapi ketika satu tahun saya jalani ditempat yang baru, saya baru mengerti rencana Tuhan yang sebenarnya. Karena ditempat itulah saya bertemu, berkenalan dengan seorang lelaki yang akhirnya mempersunting saya hingga saat ini. Kadang saya merenung, mungkin dulu kalau seandainya saya ngotot untuk pergi bertugas ke luar pulau Jawa selama beberapa bulan dan meninggalkan mama yang tengah terbaring sakit, boleh jadi saya tidak akan pernah bisa bertemu bahkan berjodoh dengan suami saya ini. Siapa tahu hingga saat ini saya masih single saking asyik dan terhanyut dunia kerja? Itulah rencana Tuhan terindah yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya.(end)